Zaman Kemerdekaan Indonesia
Kekalahan Jepang tidak segera diketahui umum berkat sensor yang ketat, namun para pemuda mengetahuinya. Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945 tersebut, daerah Jambi termasuk dalam wilayah Republik Indonesia. Adapun berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diterima di daerah Jambi pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena pada tanggal 18 Agustus 1945, dr. A.K. Gani dari Palembang melalui telepon menyampaikan berita Proklamasi dan bahwa Indonesia telah merdeka. Berita Proklamasi Kemerdekaan melalui telepon ini diterima oleh R. Sudarsono, pimpinan buruh di Pertambangan Minyak Jambi.[ai][26](hlm.258)[21](hlm.45)
Kemudian berita Proklamasi Kemerdekaan ini disebarluaskan ke seluruh pelosok daerah Jambi, dan hanya dalam be- berapa hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dilakukan, maka rakyat di daerah Sarolangun, Bangko, Bungo, Tebo, Batanghari, Tungkal dan Kerinci sudah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.[aj][21](hlm.45-46)
Tersiarnya berita kemerdekaan Indonesia disambut dengan tempik sorak dan kegembiraan oleh rakyat di daerah Jambi yang selama masa penjajahan diliputi oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, kehidupan yang melarat dan penindasan. Selanjutnya dengan adanya penerangan-penerangan dari pemuka- pemuka rakyat mengenai kewajiban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan itu, maka secara spontan alim-ulama, golongan adat, pemuda, cerdik pandai, bersatu dalam satu barisan rakyat yang siap terjun ke dalam perjuangan kemerdekaan.[25](hlm.3)[21](hlm.46)
Setelah berita Proklamasi Kemedekaan Indonesia didengar oleh rakyat di daerah Jambi, maka Sang Merah Putih mulai dikibarkan walaupun mendapat sanggahan keras dari pihak Pemerintah Jepang.[21](hlm.46)
Pada tanggal 22 Agustus 1945, walaupun ada larangan dan penjagaan tentara Jepang, para pemuda antara lain R. Husin Akip dan Amin Aini berhasil mengibarkan Sang Merah Putih di puncak menara air Jambi.[ak][21](hlm.46)
Tiga hari kemudian, di muka Kantor Polisi Jambi, dilakukan pengibaran Sang Merah Putih dengan upacara yang sangat sederhana. Pengibaran Sang Merah Putih ini dilaksanakan oleh 4 orang wanita yaitu Zuraida, Nurmaina, Serik dan Nursiah.[al][21](hlm.46)
Selanjutnya, yakni pada waktu sesudah diterima telegram dari Medan bahwa dr. Sagaf Yahya diangkat menjadi Residen Daerah Jambi, maka Sang Merah Putih dikibarkan di mana-mana pada kantor-kantor pemerintah dalam daerah Keresidenan Jambi.[26](hlm.256)[21](hlm.46)
Sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, daerah Jambi secara struktural merupakan daerah keresidenan, bagian dari Provinsi Sumatra. Kemudian tatkala Sumatra terbagi atas tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra Tengah dan Provinsi Sumatra Selatan, maka Keresidenan Jambi yang terdiri atas Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan Kotapraja Jambi masuk ke dalam propinsi Sumatra Tengah. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang No. 61 Tahun 1958, maka Propinsi Sumatra Tengah menjelma menjadi tiga propinsi yakni: Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Jambi.[am] Tepatnya sejak tanggal 6 Januari 1957, daerah Jambi menjadi Daerah Tingkat I yang terdiri atas satu Kotamadya dan lima Kabupaten yaitu:[21](hlm.1)
Luas daerah Propinsi Jambi tersebut di atas diperkirakan 53.244 kilometer persegi[27], dengan jumlah penduduk 1.245.941 jiwa, terletak antara 0°45'-2°45' Lintang Selatan dan 101°10′-104°55′ Bujur Timur[27], dengan batas-batas sebagai berikut:[21](hlm.1-2)
Pada tanggal 28 Desember 1945 datang tiga buah kapal perang Inggris ke daerah Jambi. Pada jam 14.00 siang ketiga kapal perang itu yakni no. 237 V, 239 V dan 258 V merapat di pelabuhan Jambi. Komandan TKR Jambi Letnan I M Taher, melaporkan kepada Komandan Markas Besar TKR Jambi, Kolonel Abunjani, bahwa kapal perang Inggris itu mengangkut tentara Inggris juga mengangkut tentara Belanda.[ao][28](hlm.416-417)[21](hlm.67)
Kedatangan tentara Sekutu ini, sebagaimana di utarakan oleh komandannya kepada Residen Jambi R. Inu Kertapati dimaksudkan untuk memeriksa tentara Jepang dan meninjau jenazah-jenazah tentara Belanda yang dikuburkan di Muara Tebo. Residen Jambi R. Inu Kertapati dan Komandan TKR, Kolonel Abunjani tidak memperbolehkan tentara Sekutu yang terdiri dari pasukan-pasukan Inggris dan Belanda ini mendarat di kota Jambi. Bahkan Kolonel Abunjani memerintahkan agar kapal perang tersebut untuk segera meninggalkan Jambi dalam waktu 24 jam. Untuk menghindari insiden-insiden yang mungkin terjadi dengan tentara Sekutu ini, oleh Residen Jambi dengan dibantu Komandan TKR Jambi Letnan I' M. Taher, Demang Taha dan Ismail Lazim diadakanlah perundingan segitiga antara pimpinan daerah Jambi, Kenpeitai dari pihak tentara Jepang dan Komandan tentara Sekutu. Di dalam perundingan, setelah komandan tentara Sekutu menerima penjelasan-penjelasan mengenai situasi pada ketika itu baik dari pimpinan daerah maupun dari pihak Jepang, akhirnya komandan tentara Sekutu dapat menerima dan menyetujui untuk meninggalkan daerah Jambi. Pada tanggal 29 Desember 1945 jam 14.00 kapal-kapal perang Sekutu tersebut berangkat meninggalkan Jambi.[28](hlm.416-417)[21](hlm.67-68)
Adapun tentara Jepang meninggalkan daerah Jambi pada tanggal 2 Juli 1946. Oleh karena itu, adalah aneh bahwa setelah Jambi ditinggalkan oleh tentara Jepang, Sekutu mengirimkan kembali sebatalyon kecil pasukannya yang terdiri lebih kurang 400 orang tentara ke Jambi. Terhadap pasukan Sekutu ini dapat dipelihara hubungan baik, sehingga tidak terjadi insiden dengan masyarakat maupun dengan TKR, sampai akhirnya mereka kembali ke induk pasukannya.[29](hlm.258)[21](hlm.68)
Dari uraian terdahulu, tampak dengan jelas bahwa kedatangan tentara Sekutu dan tentara Nica ke daerah Jambi, tidak membawa akibat timbulnya insiden ataupun kontak bersenjata baik dengan masyarakat maupun dengan pihak tentara kita. Karena tentara Sekutu yang bercampur dengan tentara Belanda itu tidak sempat mendarat di Jambi.[21](hlm.68)
Walaupun demikian, oleh karena tentara Jepang masih tetap berada di daerah Jambi tanpa dilucuti oleh Sekutu, insiden-insiden dengan Jepang seringkali tak dapat dihindari. Pada tanggal 15 Januari 1946 yaitu setengah bulan setelah pasukan Sekutu tidak jadi mendarat di kota Jambi, tentara Jepang mengadakan aksi terhadap TKR dan pemerintah Keresidenan Jambi dengan melakukan penangkapan-penangkapan. Pada waktu ini oleh tentara Jepang ditangkap dr. Sagaf Yahya, dr. Purwadi, R. Abdullah Kartawirana, Marzuki, Buyung Malik, Yuslim, Yusuf Deding dan Nursaga. Dengan adanya penangkapan ini, kemudian Kolonel Hasan Kasim, Komandan Divisi II TKR datang dari Palembang ke Jambi, dan mengadakan perundingan dengan Kenpeitai Jepang, agar melepaskan tokoh-tokoh yang ditangkap. Perundingan mana berhasil dengan keluarnya mereka dari tahanan Jepang.[28](hlm.416-417)[21](hlm.68-69)
Peristiwa penangkapan tersebut merupakan awal dari berbagai insiden berikutnya dengan pihak Jepang. Insiden berikutnya terjadi karena para pemuda menginginkan agar Jepang segera meninggalkan daerah Jambi, dan sebagai akibat hilangnya senjata tentara Jepang.[21](hlm.69)
Pada masa aksi Militer Belanda Pertama di daerah Jambi boleh dikatakan tidak terjadi kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda. Insiden bersenjata pada masa Aksi Militer Belanda Pertama ini sering terjadi di daerah Banyunglencir yaitu perbatasan daerah Jambi dan Palembang serta di daerah pantai yaitu di Kabupaten Tanjung Jabung.[21](hlm.72)
Di Banyunglencir terjadi beberapa kali insiden bersenjata, demikian pula di daerah pantai. Salah satu insiden ber- senjata yang agak menonjol pada masa aksi militer pertama ialah pertempuran laut antara Kapal Motor NURI I dibawah pimpinan Letnan II Laut Sanusi dengan kapal Patroli Belanda. Pertempuran yang tak seimbang ini berakhir dengan rusaknya kapal NURI I dan ditawannya Letnan II Laut Sanusi oleh Belanda.[ap][21](hlm.72-73)
Keadaan ekonomi di daerah Jambi, sesuai dengan situasi revolusi, tidaklah menguntungkan. blokade yang dilakukan oleh kapal-kapal patroli Belanda di daerah pantai menyukarkan para pedagang Jambi menjual hasil karetnya ke Singapura, yang mengakibatkan perekonomian rakyat menjadi merosot. Politik keuangan pemerintah kacau balau, di samping uang Republik Indonesia, juga pemerintah daerah mengeluarkan uang daerah. Percetakan Soei Liong dibeli dan dijadikan percetakan negara. Kepala Jawatan Penerangan daerah Jambi M.L. Tobing diberi tugas untuk menjalankan dan mengawasi percetakan uang daerah. Uang daerah yang pertama, bernama Kupon penukaran terdiri dari harga 1 rupiah dan 2½ rupiah. Kertasnya dipilih yang tebal dan kuat.[30][26](hlm.271-272) [21](hlm.73)
Dalam bulan Desember 1947 bentuk kupon di atas diperbagus lagi dengan diberi warna dan pinggir berbunga. Kemudian ditambah pula pengeluaran kupon yang berharga Rp. 5, dan Rp. 10,-.[21](hlm.74)
Aktifitas masyarakat dalam bidang seni budaya pada masa Aksi Militer Belanda Pertama, tidak banyak dilakukan. Walaupun daerah Jambi pada masa ini tidak secara frontal berhadapan dengan Belanda namun kesulitan yang dihadapi rakyat dalam bidang perekonomian, dan suasana perang yang mencekam, tidaklah memungkinkan rakyat daerah Jambi untuk mengembangkan aktifitas dan kreativitas seni budaya. Adapun di bidang pendidikan, dengan adanya tindakan pemerintah untuk melancarkan jalan pendidikan dengan menyamakan bentuk dan corak sekolah-sekolah rendah, dan dengan adanya likuidasi terhadap semua sekolah ciptaan Belanda, maka terbukalah kesempatan yang luas bagi rakyat untuk memasuki sekolah.[30](hlm.784)[21](hlm.74)
Di bidang komunikasi Pers, boleh dikatakan daerah Jambi agak terbelakang pada masa ini. Penerbitan pers yang diselenggarakan hanyalah berita penerangan oleh Jawatan Penerangan Jambi. Walaupun begitu surat kabar dari daerah lain ada yang masuk dan beredar di daerah Jambi. Di antara surat kabar surat kabar itu ialah, Harian Banteng dan Suara Padang. Kedua surat kabar ini diterbitkan oleh Divisi IV Banteng bagian penerangan, yang memuat berita perjuangan Republik Indonesia.[30](hlm.843)[21](hlm.74)
Adapun dalam bidang pemerintahan pada masa Aksi Militer Belanda Pertama di daerah Jambi tidak banyak menjalani perubahan. Bentuk pemerintahan Keresidenan dengan segala aparatnya tetap berjalan seperti biasa. Komite Nasional Indonesia daerah Jambi adalah pula Badan Perlengkapan pemerintah ketika itu, dan tetap berfungsi sebagaimana bia- sanya. Di samping itu sebagaimana juga telah diuraikan pada bagian terdahulu maka di daerah Jambi, terbentuk pula Dewan Pertahanan Daerah Jambi, yang dipimpin oleh Residen.[21](hlm.74-75)
Perubahan yang ada artinya baru terjadi menjelang timbulnya Agresi Militer Belanda Kedua, Pada tahun 1948 karena keadaan bertambah genting, maka seluruh daerah Jambi dijadikan daerah militer. Sebagai komandan daerah Militer, dan wakil Komandan, Sudarsono dengan pangkat Letnan Kolonel.[30](hlm.271)[21](hlm.75)
Pada masa Aksi Militer Belanda II daerah Jambi mengalami secara frontal serangan militer Belanda. Ketika ini terjadilah kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda, hampir di seluruh daerah Jambi.[21](hlm.75)
Pada tanggal 28 Desember 1948, kota Jambi diserang dari udara dan dihujani dengan peluru oleh 14 pesawat terbang Belanda selama 24 jam. Kota Jambi dibumihanguskan, dan Belanda menerjunkan tentaranya di sekitar daerah tanah minyak, dan di pinggir-pinggir kota. Tentara kita melakukan perlawanan sengit, Kapten TNI Bakar tewas dalam serangan ini. Residen dengan stafnya dan Dewan Pemerintahan Daerah, menyingkir keluar kota, dengan menggunakan motorboot R.I. 120, bertolak ke Sengeti dan dari sini ke dusun Rantau Majo. Di dusun Rantau Majo inilah mereka memimpin pemerintahan dan perjuangan.[30](hlm.273)[21](hlm.75)
Tanggal 29 Desember 1948 tentara payung Belanda menyerbu Bajubang, Tempino, Kenali Asam, dan tempat-tempat di sektiar tanah minyak. Perlawanan dilakukan oleh TNI dan Barisan Buruh, dari pertempuran yang berlangsung gugur 15 orang TNI, 40 Buruh, Kepala Rumah Sakit Tanah Minyak, dan 3 orang India ditembak mati oleh pihak Belanda. Di Tempino, pasukan TNI di bawah pimpinan Letnan Simatupang mengadakan perlawanan sengit bersama-sama Barisan Buruh. Akhirnya karena terkepung, Letnan Simatupang gugur. Perjuangan di Tempino ini membawa korban: 20 orang TNI gugur, buruh tewas 30 orang Polisi 5 orang, dan Ketua Perwari Tempino ibu Mahmud beserta 2 orang anaknya yang masih berumur 3 tahun dan 4 tahun. Di Kenali Asam, dalam penyerangan tentara payung Belanda, Sudarsono, Kepala Tambang Minyak dan juga Wakil Komandan Daerah Militer, bersama dengan staf Batalyon minyak, terdiri dari Kapten Rivai, Kapten Marzuki, dan Kapten Sujono, memimpin pembakaran sumur minyak. Tiga puluh sumur minyak terbakar hingga tiga bulan, dalam peristiwa penyerangan di Kenali Asam ini, Kapten Marzuki tewas terkena serangan udara, dan juga akhirnya Kapten Sujono gugur di km 8 dalam suatu pertempuran. Sedangkan Sudarsono tertangkap dan tertawan pada tanggal 1 Januari 1949.[30](hlm.274)[21](hlm.76)
Di lain waktu, Residen R. Inu Kertapati beserta stafnya dan Dewan Pemerintahan Daerah yang menyingkir dan berada di dusun Rantau Majo, Sengeti mengadakan rapat dan musyawarah.[21](hlm.76)
Selesai rapat atau musyawarah tersebut, maka Bupati Jambi Ilir, M. Kamil beserta Noeskam dan Syarnubi dengan beberapa orang temannya bersiap untuk meneruskan perjalanan menuju Muara Tebo. Sedangkan Residen R. Inu Kertapati beserta beberapa orang pengikutnya dengan mempergunakan perahu kembali ke kota Jambi.[21](hlm.77-78)
Di Muara Tebo, setelah Bupati Kamil tiba, pada bulan Januari 1949 itu juga diadakanlah rapat kilat untuk mengatur pemerintahan. Pemerintahan daerah harus diatur, dengan sebaik-baiknya agar apabila ada yang tertangkap maka yang lain bisa meneruskan kewajibannya. Dalam rapat kilat yang dihadiri antara lain oleh Bahsan Abunjani, Ahmad Bastari, A. Syarnubi, M. Kamil, Hasyimi, Noeskam dan lain-lain, diputuskan pengangkatan Bahsan sebagai Residen R.I. daerah Jambi menggantikan Residen R. Inu Kertapati.[21](hlm.78)
Setelah kota Jambi diduduki Belanda, maka pada tanggal 20 Januari 1949, kota Kuala Tungkal mendapat giliran diduduki Belanda, melalui suatu pertempuran yang sengit.[aq][21](hlm.79)
Salah satu perjuangan rakyat Jambi melawan Belanda yang terhebat di daerah Jambi adalah perjuangan rakyat Kuala Tungkal. Ketika terjadi Agresi Militer II, terjadilah perlawanan dari 3.000 anggota Selempang Merah, dan satu batalyon Tentara Nasional Indonesia. Organisasi rakyat yang bernama Selempang Merah ini diketuai oleh H. Saman, sedangkan Komandan Batalyon adalah Kapten Rivai. Front yang terbesar di Kuala Tungkal, yaitu Tungkal Ilir, Pertempuran yang terjadi di Tungkal Ilir, dipimpin oleh Letnan Abdul Fatah. Dalam pertempuran ini, telah gugur 300 orang Selempang Merah, dan di pihak Belanda tewas 40 orang tentara.[30](hlm.277)[21](hlm.79)
Sejak kota Jambi diduduki oleh Belanda, maka kota Bangko mulai dibanjiri TNI yang mengundurkan diri dari Jambi. Kemudian Bangko dijadikan tempat kedudukan komandan STD Abunjani beserta stafnya dari sini dibentuklah Komando Pertempuran untuk daerah Muara Bungo dan Muara Tebo. Pada tanggal 8 Pebruari 1949 Jam 15.00 kota Bangko mendapat serangan udara dari tentara Belanda lebih kurang 1½ jam, secara membabi buta. Akibat serangan Belanda ini sekolah-sekolah, kantor, rumah sakit, dan kendaraan yang ada di Bangko hancur tak dapat dipergunakan. Setelah terjadi penyerangan atas kota Bangko, maka komandan STD Letnan Kolonel Abunjani beserta stafnya memindahkan markasnya ke Muara Siau, kurang lebih 30 km dari Bangko. Sedangkan Wedana A. Laman kepala pemerintahan Bangko pindah ke Muara Bungo. Pada tanggal 2 Maret 1949 terjadilah pertempuran yang hebat antara TNI dengan tentara Belanda di sekitar Pauh, Mandiangin, Durian Luncuk dan Sarolangun. Tentara kita dipimpin langsung oleh Komandan STD Letnan Kolonel Abunjani, dan tentara Belanda dipimpin oleh Mayor Selamet. Pertempuran yang sengit juga terjadi di Pamenang, Sungai Ulak, dan Dusun Baru, hingga sampai di Sekancing.[30](hlm.279-280)
Selanjutnya pada bulan Maret 1949 utusan dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia tiba di Muara Tebo. Mereka terdiri dari Lukman Hakim, Ir. Indera Cahaya, Karim, dan lain-lain, menganjurkan supaya Residen beserta stafnya pindah ke Muara Bungo, yang akhirnya diterima Residen, maka di Muara Bungo dibentuklah staf yang kuat untuk menghadapi segala kemungkinan. Di Muara Bungo inilah sejak April 1949 diselenggarakan pencetakan Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatera (URIPS) atas permintaan Menteri Keuangan PDRI Mr. Lukman Hakim. Pada waktu Muara Bungo diduduki Belanda, tanggal 25 Mei 1949 maka pencetakan URIPS ini dipindahkan ke Tanah Tumbuh, dan kemudian dipindahkan pula ke Tanjung Belit, Rantau Ikil.[30](hlm.278)[21](hlm.79-80)
Dalam masa Aksi Militer Belanda II, daerah Kerinci diserang oleh Belanda dari Padang, setelah pada awal April 1949 tentara Belanda berhasil menduduki daerah Pesisir Selatan. Pertahanan tentara dan rakyat di Barung Talang dibawah pimpinan Letnan Bakhtaruddin, lebih kurang 30 Km dari Sungai Penuh, mendapat serangan dan gempuran hebat dari tentara Belanda. Berkali-kali Belanda menyerang Barung Talang, dan pada tanggal 24 April 1949 setelah serangan dari darat dan udara, Barung Talang dapat dikuasai oleh tentara Belanda. Setelah Barung Talang, berturut-turut Tentara Belanda memasuki Koto Leman, Jembatan Satu, dan Kota Sungai Penuh. Sebelum tentara Belanda masuk Sungai Penuh, rakyat telah mengungsi ke luar kota, dan membumihanguskan kota Sungai Penuh.[25](hlm.16-17)
Tembusannya pertahanan Barung Talang, mengakibatkan tentara dan laskar rakyat pindah ke luar kota, dan kemudian dibawah pimpinan Muradi dan Alamsyah melakukan perang gerilya terhadap tentara Belanda. Sedangkan Pusat pemerintahan dipindahkan dari Sungai Penuh ke Lempur.[21](hlm.80)
Pada masa aksi militer Belanda kedua ini, hampir di seluruh wilayah Kerinci terjadi pertempuran atau perang gerilya. Pada tanggal 27 April 1949, patroli Belanda menuju ke Kumun, tanpa mengalami perlawanan, dan terus menuju ke Debai. Pasukan kita di Kumun dipimpin Sersan Mayor Lelo mundur ke Pulau Tengah. Sewaktu patroli Belanda menuju Debai, di tengah jalan dicegat oleh 5 orang rakyat dengan bersenjata pedang menghadang Belanda. Kelima orang ini gugur ditembak tentara Belanda. Di Debai pasukan Belanda dicegat oleh Pasukan Syahid yang berasal dari murid Syekh Muktar Ambai. Pasukan ini bersenjatakan pedang dan pisau, menghadang Belanda dengan tiba-tiba dan terjadilah perang antara pasukan rakyat dengan pasukan Belanda. Barisan Syahid ini berjibaku melakukan perang sabil dengan Belanda. Di dalam pertempuran ini tentara Belanda mengalami 1 orang tewas dan di pihak kita 5 orang korban kena tembakan gencar tentara Belanda. Karena Belanda menduga bahwa Debai adalah sarang gerilya/basis gerilyawan dan merasa marah karena salah seorang pasukannya tewas, maka pada tanggal 30 April 1949, dusun Debai dibakar habis oleh Belanda. Di samping itu Debai merupakan tempat yang strategis karena terletak di tengah-tengah daerah antara arah jalan ke Lempur dan Sangkaran Agung. Belanda ingin menghancurkan dan mengadakan patroli ke Pulau Tengah dan Sangkaran Agung. Agar patroli ini jangan mendapat gangguan dari gerilyawan kita itulah sebabnya Debai dibakar habis oleh Belanda, agar jangan menjadi sarang gerilya.[25](hlm.20)[21](hlm.80-81)
Pulau Tengah waktu itu menjadi pusat pertahanan Sektor Kerinci Hilir. Barisan gerilya dan tentara kita memusatkan kekuatan di Pulau Tengah dipimpin oleh Letnan Nasar dan Serma Lolo. Pada tanggal 4 Mei 1949 Belanda mengetahui bahwa Pulau Tengah adalah pusat gerilyawan Kerinci. Pada hari itu dikirim pasukan patroli ke sana. Pasukan kita mengetahui kedatangan pasukan Belanda ini, dengan siasat mundur tentara kita menuju ke Telaga/Pintu Kotak, Pulau Tengah. Tanggal 13 Mei 1949 gerilyawan-gerilyawan dari Lolo, Lempur, Semerap dan Pulau Tengah, serentak menyerang pos Belanda di Pulau Tengah. Setelah pertempuran berlangsung dua jam, pasukan kita mengundurkan diri karena kehabisan peluru.[25](hlm.20)[21](hlm.81)
Tanggal 28 Mei 1949 pos Belanda di Semerap diserang oleh gerilya dibawah pimpinan Mansyur Gazali. Empat orang gerilyawan gugur yaitu T. Yakin, Udin, Ismael, dan Mat, serta 9 orang dapat ditangkap oleh Belanda. Salah seorang dari mereka yang ditangkap bernama Ibrahim dipaksa berkelahi dengan Kopral Vack Kepala Pos Belanda di Semarap, kemudian dianiaya dan dibunuh mati. Keesokan harinya tanggal 29 Mei 1949, Semerap dibakar oleh Belanda sejumlah 67 buah rumah, 60 lumbung padi dan sebuah Mesjid menjadi abu. Dengan pembakaran dusun itu maka pertempuran mereda dan Semerap dapat diduduki oleh Belanda.[25](hlm.20)[21](hlm.82)
Belanda masuk Keluru pada tangal 25 Mei 1949, dari arah jurusan Pulau Tengah. Setelah Pulau Tengah diduduki Belanda, maka pasukan menuju Jujun dan Keluru dengan kekuatan sebanyak 50 orang. Dengan kekuatan sebanyak itu, terjadi pertempuran sengit dengan satu peleton pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu, komandan pasukan Baharuddin Samad dan dua orang rakyat menjadi korban, akhirnya pasukan menyingkir ke dalam rimba, sehingga Belanda bergerak terus dan menduduki dusun Keluru.[21](hlm.82)
Pada tanggal 27 Mei 1949, Belanda menyerang Keluru kembali dari arah Bukit Talang Janguk dengan kekuatan satu peleton. Ketika sampai di pinggir mesjid Keluru Belanda mengadakan pengepungan terhadap orang yang sedang shalat Jumat. Tak lama antaranya datang kurir Kadir menyampaikan bahwa Belanda sudah mengepung mesjid, sehingga pemuda dan rakyat berusaha mencari perlindungan. Belanda melepaskan tembakan secara membabi buta terhadap pasukan yang dipimpin oleh Haji Adnan Abas. Keluru pada waktu itu merupakan pusat perlawanan rakyat yang menyerang pos Belanda di Pulau Tengah. Pada waktu penyerangan tanggal 27 Mei 1949, Keluru dikosongkan, sehingga dusun Keluru dibakar habis oleh Belanda. Pembakaran ini dilakukan oleh Belanda karena menganggap Keluru menjadi pusat daripada tentara GATI dan gerilya.[25](hlm.21)[21](hlm.82)
Oleh karena pusat pemerintahan masih berada di Lempur kira-kira bulan November 1949, berkali-kali tentara Belanda maju ke Lolo, namun dihambat terus oleh gerilya. Di pertengahan bulan November 1949 hari Rabu jam. 8.30, Lempur didatangi oleh sebuah pesawat Mustang Belanda yang datang dari arah Timur, terus menuju arah selatan. Kemudian setelah mengitari alam Lempur, maka kira-kira pada jam 8.40 pagi, tembakan metraliur ditujukan ke arah rumah kediaman bupati.[25](hlm.83)[21](hlm.82-83)
Pada tanggal 17 November 1949 jam 6.30 pagi, Belanda sudah berada di sekitar Dusun Baru, Lempur dengan berjalan kaki melalui Bukittangis. Dengan melalui Bukit Talang Ting- gi, terus menyusuri Bukit Setangis menuju Air Abang Gerao, Belanda maju ke dusun Baru dengan maksud akan mengepung rumah kediaman Bupati dan Stafnya. Ketika itu Bupati dan staf telah menyingkir ke Ulu Rasau bersama rakyat termasuk Meidan Rahman demi menjaga kesehatan Bupati dan Komisaris Nazir. Tentara Belanda memasuki dan berada di dusun Baru, Lempur, dibawa oleh orang yang pro Belanda dari sekitar Keliling Danau, sebagai penunjuk jalan. Di waktu Belanda memasuki Dusun Baru Lempur, mereka terus mengepung rumah kediaman Bupati dan menangkap di tempat ini:[21](hlm.83)
Mereka yang ditangkap itu, sedang berada di rumah kediaman Bupati yang dianggap oleh mereka satu tempat yang aman dan mudah menghubungi Pemerintah. Sedangkan mereka satu berkedudukan sebagai Kepala Dusun. Mereka yang ditangkap itu, dibawa ke SD Lempur Tengah. Karena penangkapan itu maka semangat pemuda gerilya meluap dan ingin menyerang pada waktu itu juga. Belanda memberitahukan kepada rakyat setempat, jika terjadi serangan dari pihak gerilya, maka ketujuh orang tahanan itu akan ditembak mati pada saat itu juga. Ketujuh orang itu disiksa dan dianiaya oleh tentara Belanda. Daerah penyiksaan itu telah dikepung oleh pasukan kita, tetapi atas perintah Komando Wali Perang Samin Abdullah, tidak dibenarkan mengadakan tembakan demi menjaga keselamatan ketujuh orang yang telah ditangkap Belanda itu tadi. Wali Perang Samin Abdullah meberi nota kepada tentara Belanda, agar menghentikan siksaan dan melepaskan ketujuh orang tahanan itu dan jangan dibawa ke Pulau Tengah. Kami bisa mundur, kalau tahanan itu dilepaskan. Kemudian Belanda melepaskan ketujuh tahanan tersebut. Belanda keluar dari SD dengan melalui sawah dan tidak memasuki Lempur Tengah, sebab Belanda, tahu bahwa mereka sedang berada di muncung senjata gerilya kita. Lempur tidak pernah diduduki Belanda secara tetap, tetapi merupakan daerah patroli saja, dengan berjalan kaki tanpa jeep. Selama masa agresi militer Belanda kedua, Lempur menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Kerinci sejak kota Sungai penuh diduduki oleh Belanda.[25](hlm.22)
Demikianlah antara lain pertempuran di daerah Kerinci Hilir. Adapun di daerah Kerinci Hulu juga terjadi pertempuran dan perang gerilya. Di daerah Kerinci Hulu setelah Belanda menduduki Sungai Penuh, ibukota Kabupaten PSK, pada 24 April 1949, maka pada tanggal 28 April 1949, Belanda menuju Semurup. Bersamaan dengan itu seorang pemuda bernama Asit Seman, mengadakan jibaku menyerang Belanda dengan golok yang sudah diasah tajam. Tentara Belanda mengetahui maksudnya itu, maka sebelum ia sampai, ia ditembak oleh tentara Belanda. Hal ini terjadi di Sekungkung. Sambil menuju Semurup, Belanda sempat pula menembaki seorang pemuda bernama Akin Karim berasal dari Belui. Malam pertama Belanda menempatkan posnya di Semurup, dan langsung mendapat serangan dari pasukan gerilya kita. Serangan itu dilancarkan dari sudut sebelah selatan pasar Semurup. Penyerangan dipimpin oleh Usuludin.[21](hlm.84)
Pada tanggal 9 Juni 1949, terjadi pertempuran di Semumu. Tiga hari sebelum pertempuran telah direncanakan untuk mengadakan penghadangan terhadap musuh di Semumu. Di rumah H. Sabaruddin dan Depati Mat Kitok dusun Kubang Gedang, diadakan rapat rahasia. Setelah satu keputusan diambil, maka pada hari tersebut di atas jam 5.00 pagi, para gerilya kita dibawah pimpinan Muradi dan Alamsyah, telah siap di tempat Stelling masing-masing, menurut siasat yang telah diatur lebih dahulu. Tetapi musuh mengetahuinya, dan mereka segera menyusup dari belakang sehingga para gerilyawan kita berada dalam perangkap, namun dapat meloloskan diri. Pada Tanggal 28 Juni 1949, rombongan GATI di bawah pimpinan Mayor Alwi St. Marajo meninggalkan Kerinci.[25](hlm.27)[21](hlm.85)
Tanggal 18 Mei 1949, dengan dua buah Jeep tentara Belanda dari Sungaipenuh melalui Simpang Belui menuju Kota Lenang terus ke Sungai Titung. Sebelumnya, pada tanggal 1 Mei 1949, diadakan sumpah setia di rumah lama H. Sutan Harun Belui, dibawah pimpinan Alamsyah. Yang ikut melakukan sumpah setia pada malam itu sebanyak 100 orang terdiri dari seluruh aliran masyarakat Belui. Penyumpahan dilaksanakan oleh Bayu Usman Ibrahim dengan niat "Sekali Merdeka Tetap Merdeka" dan berjuang terus melawan penjajahan sampai tetesan darah penghabisan. Pada tanggal 19 Mei 1949, terjadilah pertempuran sengit di Belui, pada waktu anggota gerilya kita dibawah pimpinan Alamsyah bersama-sama dengan anggota CPM diantaranya Serma Bastian, Sersan Yulinar, Sersan Hasan Basri, Kopral Teo Lawalata, Kopral Syamsudin dan lain-lain. Sedangkan dipihak gerilya kita antara lain, Sersan A. Samah, Polisi Badu Lusin Depati, Mat Dus, Kopral Kamarudin, Kopral Usaman Kalik, Sersan Usuludin, Prajurit Abdul Latif, Wali perang Depati VII Ashari, Ali Gayu, Usman Gading, Mat Jabar Mangku, Hakim Usman Depati, Mat Ribut, Nur Yakin, Bayu Usman Ibrahim, Jamaludin dan lain-lain. Kurang lebih seluruhnya 30 orang. Baik yang disebut CPM maupun yang disebut gerilya, semuanya adalah anggota gerilya.[25](hlm.28-29)[21](hlm.85)
Sebelum Belanda memasuki Siulak, rakyat lebih dulu telah mengungsi dan tinggallah pemuda-pemuda dalam dusun. Pada bulan Mei 1949, datang lima orang tentara kita, yaitu Letkol. Burhanuddin, Komandan Resimen II, mengadakan perundingan di Pasar Siulak. Untuk mengadakan pertahanan di Siulak, ditunjuk Letnan Satu Rustam (GATI) sebagai Komandan Front. Kemudian Letkol Bur berangkat ke Kayu Are dengan pengiring satu peleton, Camat Kamarudin dengan Kapten Hamid Jaus dan Komandan Peleton Ahmad, merundingkan tentang markas, yang kemudian menunjuk rumah A. Salam sebagai markas. Ketika itu Belanda membakar Semurup, kemudi- an mencoba memasuki Siulak. Pertempuran sengit terjadi, sehingga Belanda mundur kembali ke Semurup. Dalam serangan kedua kalinya, Belanda memasuki Siulak melalui pinggir air, sedangkan pasukan kita melalui bukit sebelah Timur dengan kekuatan 1 peleton dibawah pimpinan Sersan Mayor Lelo dan Sersan Mayor Ahmad. Di Siulak Gedang dekat simpang Siulak Kecil terjadi pertempuran hebat antara pasukan Belanda dengan pasukan kita (TNI) dibawah pimpinan Kapten Marjisan dan Letnan CPM Bakhtiar. Untuk mengatur siasat, maka seluruh pejuang berkumpul di pasar sebanyak 64 orang. Letnan Rustam menga- takan bahwa malam nanti Belanda akan menyerang, dan pasukan kita dibagi dua komando:[21](hlm.85-86)
Setelah Siulak Gedang jatuh, tentara kita mundur ke Siulak Deras dan Markas TNI pindah ke Kayu Aro.[25](hlm.30-31)[21](hlm.87)
Di Talang Batu, dulu Telang Tembak, terjadi kontak senjata lagi antara pasukan kita dengan Belanda dengan meninggalkan korban satu orang. Kira-kira 20 hari kemudian, didapat info bahwa Belanda masuk dalam tiga jurusan yaitu:[21](hlm.87)
Pada bulan Mei, kira-kira jam 8.00 pagi, terjadi lagi pertempuran hebat tak henti-hentinya dari tiga jurusan tadi, sehingga pejuang kita merasa terkepung dan mundur.[25](hlm.31)[21](hlm.87)
Dalam pada itu, di bawah pimpinan Muradi dan Alamsyah, anggota gerilya kita bersama-sama dengan pejuang setempat (Sungai Medang) mendirikan Markas gerilya dan langsung menjadi asrama gerilya kita, yang terletak di bukit Sungai Medang, kira-kira 3 km dari dusun. Markas Gerilya ini diberi nama Markas Gerilya Rimba Tanjung Tembaga karena letaknya dekat Sungai Tembaga Sungai Medang. Pada tanggal 5 Juli 1949, bertempat di Markas ini dibentuklah Komando Pertempuran Kerinci beserta stafnya. Komando ini langsung menjadi Kompi Pertempuran atau Kompi Gerilya Kerinci.[25](hlm.32)[21](hlm.87)
Politik dan pemerintahan
Gubernur adalah pemimpin tertinggi di pemerintahan provinsi Jambi, yang bertanggungjawab atas wilayah tersebut. Saat ini, gubernur atau kepala daerah yang menjabat di provinsi Jambi ialah Al Haris, didampingi wakil gubernur Abdullah Sani. Mereka pemenang pada Pemilihan umum Gubernur Jambi 2020. Haris merupakan gubernur Jambi ke-10. Haris dan Abdullah dilantik oleh presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Istana Negara Jakarta pada 7 Juli 2021, untuk masa jabatan 2021-2024.[31]
Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°–104,55° Bujur Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, sebelah Timur dengan Selat Berhala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini.[butuh rujukan]
Luas Provinsi Jambi 50.160,05 km² dengan jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2022 berjumlah 3.631.136 jiwa[33]. Sebelumnya di tahun 2010, provinsi ini memiliki populasi sebanyak 3.088.618 jiwa (Data BPS hasil sensus 2010). Jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2006 berjumlah 2.683.289 jiwa (Data SUPAS Proyeksi dari BPS Provinsi Jambi. Jumlah Penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2005 sebesar 2.657.536 (data SUSENAS) atau dengan tingkat kepadatan 50,22 jiwa/km2. Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,96% dengan PDRB per kapita Rp9.523.752,00 (Angka sementara dari BPS Provinsi Jambi. Untuk tahun 2005, PDRB per kapita sebesar Rp8.462.353). Sedangkan sebanyak 46,88% dari jumlah tenaga kerja Provinsi Jambi bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan; 21,58% pada sektor perdagangan dan 12,58% pada sektor jasa. Dengan kondisi ketenagakerjaan yang sebagian besar masyarakat di provinsi ini sangat tergantung pada hasil pertanian,perkebunan sehingga menjadikan upaya pemerintah daerah maupun pusat untuk mensejahterakan masyarakat adalah melalui pengembangan sektor pertanian[butuh rujukan]
Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi dan juga pendatang. Penduduk asli provinsi Jambi termasuk Suku Melayu Jambi, Batin, Penghulu, Pindah, Kerinci dan Suku Anak Dalam.[34] Suku Batin dan Penghulu kebudayaannya berunsur Melayu dan beberapa mengalami perpaduan dengan budaya Minangkabau, banyak bermukim di Kabupaten Bungo, Merangin, Tebo, dan Sarolangun. Sedangkan Suku Pindah, kebudayaannya perpaduan Melayu dan budaya Palembang yang bermukim dibeberapa kecamatan di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun. Sementara Suku Kerinci berada di daerah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Adat istiadat dan budaya Suku Kerinci masih serumpun atau dekat dengan Minangkabau yang juga menganut sistem matrilineal.[butuh rujukan]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010, provinsi Jambi jumlah penduduknya 3.069.768 jiwa. Penduduk dengan suku asli provinsi Jambi yakni suku Melayu Jambi, Kerinci, kemudian suku Batin, Penghulu, Pindah, dan merupakan etnis terbanyak yakni sebanyak 1.337.521 jiwa atau 43,57%.[35]
Sementara pada Sensus Penduduk Indonesia 2000, BPS mencatat suku asal Jambi sebanyak 1.102.628 jiwa atau 45,81% dari 2.407.166 jiwa. Dan BPS lebih menjabarkan banyaknya penduduk berdasarkan suku di Jambi dengan rincian, suku Jambi sebanyak 834.504 jiwa atau 34,67% dari 2.407.166 jiwa penduduk. Kemudian suku Kerinci sebanyak 254.125 jiwa atau 10,56% dan suku Batin sebanyak 13.999 jiwa atau 0,58%.[36]
Masih pada Sensus 2010, etnis pendatang terbanyak berasal dari etnis Jawa yakni sebanyak 893.156 jiwa (29,10%). Suku Melayu di luar orang Jambi sebanyak 164.979 jiwa (5,37%), kemudian Minangkabau sebanyak 163.760 jiwa (5,33%), Batak sebanyak 106.249 jiwa (3,46%), Banjar sebanyak 102.237 jiwa (3,33%), Bugis sebanyak 96.145 jiwa (3,13%), Sunda sebanyak 79.203 jiwa (2,58%), asal Sumatera Selatan sebanyak 57.663 jiwa (1,88%), Tionghoa sebanyak 37.246 jiwa (1,21%) dan suku lainnya sebanyak 31.609 jiwa (1,04%).[35]
Sebagian besar masyarakat Jambi memeluk agama Islam yaitu sebesar 95,07%, sedangkan selebihnya merupakan pemeluk agama Kristen 3,95% di mana Protestan sebesar 3,37% dan Katolik sebesar 0,58%. Sebagian lagi memeluk agama Buddha yakni 0,89%, kemudian penganut kepercayaan sebanyak 0,06%, Konghucu sebanyak 0,02% dan sebagian kecil pemeluk agama Hindu sebanyak 0,01%, yang umumnya berada di Kota Jambi.[1]
Agama Islam umumnya dianut etnis asli provinsi Jambi yakni Melayu Jambi yang banyak tinggal di Sarolangun, Kerinci, Tanjung Tebo. Kemudian etnis Jawa, Sunda, Sunda, Bugis dan Minang sebagai etnis pendatang juga kebanyakan memeluk agama Islam. Sementara agama Kristen (Protestan dan Katolik) umumnya dianut oleh penduduk etnis Batak, Nias, dan sebagian Tionghoa. Agama Buddha dan Konghucu dianut penduduk etnis Tionghoa, sedangkan sebagian kecil pemeluk agama Hindu berasal dari etnis Bali dan peranakan India.[butuh rujukan]
Di Provinsi Jambi, terdapat berbagai macam bahasa yang digunakan oleh penduduknya, yaitu bahasa Indonesia, Bahasa Melayu (dialek Jambi), Bajau Tungkal Satu, Banjar, Bugis, Jawa, Kerinci,dan Minangkabau.[37] Tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat bahasa yang belum terpetakan karena melihat dari luas wilayah, batas wilayah, sejarah, hingga perkembangan Provinsi Jambi. Bahasa-bahasa yang ada di daerah Jambi sejalan dengan penyebaran penduduknya, sehingga bahasanya ditemukan pada daerah tertentu dan memiliki ciri khas dialeknya masing-masing.[38]
Dari sekian banyak bahasa, bahasa Melayu dan bahasa kerinci merupakan bahasa asli provinsi Jambi. Bahasa Melayu yang dominan digunakan masyarakat provinsi Jambi adalah Bahasa Melayu Jambi. Bahasa Melayu Jambi juga sebagai pemersatu dialek bahasa Melayu didaerah setiap kabupaten/kota,dan juga digunakan untuk berinteraksi antar suku yang ada di provinsi Jambi.[butuh rujukan]
Dengan kondisi suhu udara berkisar antara 23 °C sampai dengan 34 °C dan luas wilayah 53,435 km2 di antaranya sekitar 60% lahan merupakan kawasan perkebunan dan kehutanan yang menjadikan kawasan ini merupakan salah satu penghasil produk perkebunan dan kehutanan utama di wilayah Sumatra. Kelapa sawit dan karet menjadi tanaman perkebunan primadona dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 400.168 hektare serta karet mencapai 595.473 hektare. Sementara itu, nilai produksi kelapa sawit sebesari 898,24 ribu ton pertahun. Hasil perkebunan lainnya adalah karet, dengan jumlah produksi 240,146 ribu ton per tahun, kelapa dalam (virgin coconut) 119,34 ribu ton per tahun, casiavera 69,65 ribu ton per tahun, serta teh 5,6 ribu ton per tahun. Sementara produksi sektor pertanian yang dihasilkan oleh kawasan bagian barat Provinsi Jambi yaitu beras kerinci, kentang, kol/kubis, tomat, dan kedelai.[butuh rujukan]
Potensi kekayaan alam di Provinsi Jambi adalah minyak bumi, gas bumi, batubara dan timah putih. Jumlah potensi minyak bumi Provinsi Jambi mencapai 1.270,96 juta m3 dan gas 3.572,44 miliar m3. Daerah cadangan minyak bumi utama di struktur Kenali Asam, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi dengan jumlah cadangan minyak 408,99 juta barrel. Sedangkan cadangan gas bumi utama di Struktur Muara Bulian, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari dengan jumlah cadangan 2.185,73 miliar m3. [butuh rujukan]
Cadangan minyak bumi Provinsi Jambi sebesar 1.270,96 juta m3. Cadangan minyak bumi antara lain terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, struktur Kenali Asam, Kecamatan Jambi Luar Kota dan Kabupaten Muaro Jambi.[butuh rujukan]
Cadangan gas bumi Provinsi Jambi sebesar 3.572,44 miliar m3. Cadangan tersebut sebagian besar terdapat di Struktur Muara Bulian, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari dengan jumlah cadangan 2.185,73 miliar m3.[butuh rujukan]
Cadangan batubara Provinsi Jambi sebesar 18 juta ton, yang merupakan batubara kelas kalori sedang yang cocok digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik. Cadangan terbesar dijumpai di Kabupaten Bungo.[butuh rujukan]
Komoditas perkebunan yang sangat dominan adalah Karet dan Kelapa Sawit. Hal ini didukung dengan program Pemerintah Derah Provinsi Jambi yaitu “Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar” serta “Replanting Karet”. Selain itu, casiavera juga banyak dibudidayakan terutama di daerah Kerinci.[39]
Provinsi Jambi terdiri dari 11 kabupaten/kota. Sarana dan prasarana di Jambi saat ini sudah tersedia dengan cukup baik. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengakses berbagai tempat objek wisata di Kota Jambi maupun kabupaten lainnya di provinsi Jambi. Sarana transportasi yang bisa digunakan untuk ke provinsi Jambi dengan pesawat dan mobil. Selain kota Jambi, kabupaten yang telah memilki bandara adalah kabupaten Bungo dan Kerinci.[butuh rujukan]
Objek wisata yang ada di Jambi cukup banyak. Salah satunya Kabupaten Kerinci merupakan daerah wisata di provinsi Jambi, yang dikenal dengan sebutan sekepal tanah dari surga. Alam yang ada di Kerinci sangatlah indah, mulai dari pegunungan, danau, perkebunan teh dan masih banyak lagi. Selain di Kerinci tempat wisata di Jambi juga terdapat di beberapa Kabupaten lainnya, antara lain :
Ada dua objek di lokasi ini yaitu Menara Gentala Arasy dan Jembatan Pedestrian atau yang lebih dikenal dengan Jembatan Gentala Arasy. Jembatan Pedestrian adalah Jembatan untuk pejalan kaki dengan bentuk berkelok-kelok dan terbentang diatas sungai batanghari. Diujung jembatan terdapat Menara Gentala Arasy yang merupakan museum tentang sejarah berkembangnya islam di Kota Jambi. Selain museum, disini juga menjadi pusat kuliner dan juga banyak disediakan perahu jika ingin menyusuri sungai Batanghari.
Candi Muaro Jambi merupakan komplek percandian Agama Hindu-Buddha yang terdapat di kabupaten Muaro Jambi dan diperkirakan berasal dari abad ke-11 M. Komplek percandian ini adalah yang terluas di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Geopark Merangin merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di kabupaten Merangin. Geopark ini tidak hanya menawarkan arung jeram saja tetapi keunikan fosil flora berusia 350 juta tahun juga menjadi daya tarik tersendiri. Kawasan ini masih diselimuti hutan lebat dengan beragam jenis tanamannya. Untuk mencapai lokasi ini dibutuhkan waktu sekitar 6 jam dengan menggunakan mobil dari Jambi, Ibu kota provisi Jambi.
Air Terjun Sigerincing memiliki ketinggian sekira kurang lebih 40-60 meter, terletak di kabupaten Merangin. Air terjun ini merupakan bagian dari aliran sungai Batang Tembesi yang berhulu di Gunung Masurai.
Salah satu tempat wisata di Jambi terbaik dan terkenal sejak zaman dahulu adalah Kebun Teh Kayu Aro yang terdapat di kabupaten Kerinci. Perkebunan dengan luas 3.020 hektare ini merupakan perkebunan teh dalam satu hamparan terluas di dunia dengan berlatarkan Gunung Kerinci.
Kondisi alam sekitar Danau Gunung Tujuh sangat begitu indah dan alami serta memiliki air yang begitu jernih. Keindahan Danau dilengkapi oleh barisan hamparan tujuh gunung yang mengelilinginya. Pada beberapa titik di pinggir danau terbentang pasir yang menyerupai pantai. Danau Gunung tujuh ini terdapat di kabupaten Kerinci.
Danau ini memiliki luas sekitar 30 x 30 meter. Jernihnya air di Danau ini membuat dasarnya terlihat secara jelas, walaupun memiliki kedalaman air yang tidak terukur. Selain itu, pada saat malam Danau Kaco mengeluarkan cahaya yang terang, terutama pada waktu bulan purnama.
Jambi merupakan sebuah provinsi yang terletak di timur pulau Sumatra. Masyarakat Jambi terdiri dari beberapa macam suku pribumi seperti Suku Melayu Jambi, Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Anak Dalam, hingga keturunan atau rumpun Minang. Tak heran jika provinsi ini mempunyai berbagai macam tradisi dan budaya.
Musik Jambi banyak dipengaruhi oleh nuansa Melayu dan Arab, diantaranya adalah alat musik tradisional, seperti Gambus Jambi, Gendang Melayu, Sekdu, Kompangan, Marawis, Cangor dan Kelintang Jolo. Sedangkan untuk lagu daerah Jambi, diantaranya adalah Injit-Injit Semut, Pinang Muda, Selendang Mayang, dan Batanghari
Secara garis besar seni tari dari provinsi Jambi adalah dari adat budaya etnis Melayu dan Kerinci. Terdapat beberapa macam jenis tari tradisional khas Jambi, di antaranya tari Sekapur Sirih, Selampit Delapan, Inai, Rentak Kudo, Mengaup dan Rentak Besapih.
Masakan Jambi atau Hidangan Jambi adalah makanan khas Jambi atau jenis kuliner yang berkembang di provinsi Jambi, Indonesia. Masakan ini banyak berbahan dasar ikan yang didukung oleh banyaknnya sungai di provinsi Jambi. Rempah-rempah juga pada umumnya tidak jauh berbeda dengan masakan dari Sumatera Barat. Budaya Melayu, dan Minangkabau juga memengaruhi racikan kuliner provinsi Jambi. Beberapa contoh makanan dari Jambi yang cukup populer adalah Nasi gemuk, Tempoyak, Kerutup ikan, Daging masak hitam, Gulai tepek ikan, Gulai terjun, dan Gulai tekuyung.
Setiap kawasan di provinsi Jambi, memiliki makanan sebagai ciri khas daerah, yang biasa dijadikan sebagai buah tangan (oleh-oleh) misalnya: kota Jambi terkenal dengan Kue padamaran dan Kopi AAA, sedangkan Kerinci dengan Dodol Kentang dan Teh Kayu Aro, lalu Merangin dengan Gelamai perentak dan Kopi jangkat, kemudian Batanghari dengan Kue cepak kapung, dan Muaro Jambi terkenal dengan Pempek sambal dan Nanas Tangkit.[butuh rujukan]
1°45′S 102°49′E / 1.750°S 102.817°E / -1.750; 102.817
Jarak antara kota Jambi, Jambi, Indonesia dan Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia di jalan umum adalah — km atau mil. Jarak antara titik-titik dalam koordinat — 1040 km atau 624 mil. Untuk mengatasi jarak ini dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 km / jam membutuhkan — 13.0 jam atau 780.0 menit.
Panjang jarak ini adalah tentang 2.6% total panjang khatulistiwa. Pesawat Airbus A380 akan terbang jarak di 1.1 jam, dan kereta 14.9 jam (Ada kereta berkecepatan tinggi).
Jarak antara kota Jambi, Jambi, Indonesia dan Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia di jalan umum adalah — km atau mil. Jarak antara titik-titik dalam koordinat — 201 km atau 120.6 mil. Untuk mengatasi jarak ini dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 km / jam membutuhkan — 2.5 jam atau 150.8 menit.
Panjang jarak ini adalah tentang 0.5% total panjang khatulistiwa. Pesawat Airbus A380 akan terbang jarak di 0.2 jam, dan kereta 2.9 jam (Ada kereta berkecepatan tinggi).
Provinsi Jambi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112), yang terdiri dari 5 Kabupaten dan 1 Kota. Pada tahun 1999, dilakukan pemekaran terhadap beberapa wilayah administratif di Provinsi Jambi melalui Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Selanjutnya melalui Undang-undang nomor 25 tahun 2008, tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh, sehingga sampai tahun 2010, secara administratif Provinsi Jambi menjadi 9 Kabupaten dan 2 Kota.
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2011, maka Gubernur juga berkewajiban menyampaikan informasi kegiatan yang dilaksanakan oleh Instansi Vertikal yang berada pada wilayah Pemerintah Provinsi Jambi.
Letak Wilayah dan Topografi
Secara geografis Provinsi Jambi terletak pada 0o45’-2o45’ Lintang Selatan dan 101o10’-104o55’ Bujur Timur di bagian tengah Pulau Sumatera, sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, Sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan Provinsi Kepulauan Riau, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. Posisi Provinsi Jambi cukup strategis karena langsung berhadapan dengan kawasan pertumbuhan ekonomi yaitu IMS-GT (Indonesia, Malaysia, Singapura Growth Triangle). Luas wilayah Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-undang Nomor 19 tahun 1957, tentang Pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 61 tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 112) adalah seluas 53.435,72 km2 dengan luas daratan 50.160,05 km2 dan luas perairan 3.274,95 Km2 yang terdiri atas :
Secara administratif, jumlah kecamatan dan desa/kelurahan di Provinsi Jambi tahun 2010 sebanyak 131 Kecamatan dan 1.372 Desa/Kelurahan, dimana jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan terbanyak di Kabupaten Merangin yaitu 24 Kecamatan dan 212 Desa/Kelurahan.
Secara topografis, Provinsi Jambi terdiri atas 3 (tiga) kelompok variasi ketinggian (Bappeda, 2010):
1. Daerah dataran rendah 0-100 m (69,1%), berada di wilayah timur sampai tengah. Daerah dataran rendah ini terdapat di Kota Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sebagian Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.
2. Daerah dataran dengan ketinggian sedang 100-500 m (16,4%), pada wilayah tengah. Daerah dengan ketinggian sedang ini terdapat di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin serta sebagian Kabupaten Batanghari; dan
3. Daerah dataran tinggi >500 m (14,5%), pada wilayah barat. Daerah pegunungan ini terdapat di Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh serta sebagian Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin.
Provinsi Jambi memiliki topografi wilayah yang bervariasi mulai dari ketinggian 0 meter dpl di bagian timur sampai pada ketingian di atas 1.000 meter dpl, ke arah barat morfologi lahannya semakin tinggi dimana di bagian barat merupakan kawasan pegunungan Bukit Barisan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Provinsi Jambi sebagai salah satu Provinsi di Sumatera yang terkenal dengan iklim tropis dan kaya akan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati, namun juga tetap menjadi kerentanan terjadi perubahan iklim. Gejala perubahan iklim seperti kenaikan temperatur, perubahan intensitas dan periode hujan, pergeseran musim hujan/kemarau, dan kenaikan muka air laut, akan mengancam daya dukung lingkungan dan kegiatan seluruh sektor pembangunan.
Sepanjang tahun 2011, Provinsi Jambi memiliki karakteristik curah hujan sedang dan lembab, sehingga Jambi termasuk daerah yang beriklim tropis. Rata-rata curah hujan pada tahun 2010 mencapai 3.030 mm, sedangkan jumlah penyinaran matahari 4,2 jam perhari dengan kelembaban udara rata-rata sebesar 97%. Suhu udara rata-rata mencapai 27 derajat Celsius, sedangkan untuk dataran tinggi di Wilayah Barat mencapai 22 derajat celcius.
Di luar hutan, penggunaan lahan Provinsi Jambi masih didominasi oleh perkebunan karet dengan kontribusi sebesar 26,20%. Diikuti oleh perkebunan sawit sebanyak 19,22%. Sebagian besar lahan di Provinsi Jambi digunakan untuk kegiatan budidaya pertanian, baik pertanian lahan sawah maupun pertanian lahan bukan sawah. Berdasarkan karakter komplek ekologinya, perkembangan kawasan budidaya khususnya untuk pertanian terbagi atas tiga daerah yaitu kelompok ekologi hulu, tengah dan hilir. Masing-masing memiliki karakter khusus, dimana pada komplek ekologi hulu merupakan daerah yang terdapat kawasan lindung, ekologi tengah merupakan kawasan budidaya dengan ragam kegiatan yang sangat bervariasi dan komplek ekologi hilir merupakan kawasan budidaya dengan penerapan teknologi tata air untuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau Iingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan strategis nasional yang berada di Provinsi Jambi ditetapkan dengan pertimbangan dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Adapun Kawasan Strategis Nasional yang termasuk dalam kawasan wilayah Provinsi Jambi meliputi :
1. Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu dan Sumatera Selatan)
2. Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)
3. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau)
4. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi)
Menurut BPS (2010), penduduk Provinsi Jambi tahun 2010 berjumlah 3.092.265 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata sebesar 61,65 jiwa/km2 kecuali Kota Jambi sebesar 2.588,99 jiwa/km2 dan Kota Sungai Penuh sebesar 210,20 jiwa/km2. Sebagaimana karakter ibukota Provinsi pada umumnya yaitu sebagai pusat pemerintahan, industri dan perdagangan, maka Kota Jambi juga merupakan daerah tujuan arus migrasi.
Dilihat dari posisi kewilayahan barat dan timur, maka prosentase distribusi penduduk di kedua wilayah tersebut terlihat relative seimbang, yaitu 52% untuk wilayah timur (Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Kota Jambi), dan 48% untuk wilayah barat (Kerinci, Sungai Penuh, Merangin, Sarolangun, Bungo dan Tebo).
Jarak antara kota Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia dan Jambi, Jambi, Indonesia di jalan umum adalah — km atau mil. Jarak antara titik-titik dalam koordinat — 201 km atau 120.6 mil. Untuk mengatasi jarak ini dengan kecepatan kendaraan rata-rata 80 km / jam membutuhkan — 2.5 jam atau 150.8 menit.
Panjang jarak ini adalah tentang 0.5% total panjang khatulistiwa. Pesawat Airbus A380 akan terbang jarak di 0.2 jam, dan kereta 2.9 jam (Ada kereta berkecepatan tinggi).
Jambi merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera, tepatnya di pesisir timur Sumatera bagian tengah. Letaknya strategis karena dekat dengan Selat Malaka dan berhadapan dengan Selat Karimata serta Selat Berhala.
Jambi juga berada pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I dan lalu lintas internasional. Dengan posisi tersebut, wilayah Jambi memiliki keunggulan komparatif jika dibanding dengan provinsi lain di Pulau Sumatera.
Provinsi ini genap berusia 63 tahun pada tahun 2020. Daerah yang memiliki semboyan “Spucuk Jambi, Sembilan Lurah” ini dibentuk pada tanggal 6 Januari 1957 bersamaan dengan pembentukan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.
Tanggal 6 Januari 1957 tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Provinsi Jambi, seperti tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Djambi Nomor 1 Tahun 1970 tanggal 7 Juni 1970 tentang Hari Lahir Provinsi Djambi.
Sebelum berdiri secara otonom, Jambi merupakan salah satu keresidenan di Provinsi Sumatera Tengah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota-Besar dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah.
Satu tahun kemudian provinsi ini dihapus berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 dan dimekarkan menjadi tiga provinsi, yaitu Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Lalu, Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 mengukuhkan UU Darurat tersebut, dan sejak tahun 1957 pusat pemerintahan Provinsi Jambi berada di Kota Jambi.
Provinsi Jambi terdiri dari 9 kabupaten, 2 kota, 141 kecamatan, dan 1.562 kelurahan/kota. Dengan luas 50.160,05 kilometer persegi, daerah ini dihuni oleh 3,62 juta penduduk pada tahun 2019.
Perjalanan sejarah Provinsi Jambi cukup panjang. Disebutkan dalam buku Sejarah Sosial Jambi, Jambi Sebagai Kota Dagang, wilayah Jambi telah memainkan peranan penting dalam perkembangan peradaban manusia sejak masa prasejarah itu.
Peninggalan batu megalith yang tersebar di berbagai tempat, antara lain di Merangin dan Kerinci, menjadi bukti masa itu. Batu-batu tersebut berbentuk dolmen, batu bergambar, tempayan kubur, dan budaya batu besar lainnya. Peninggalan budaya prasejarah tersebut diperkirakan berlangsung pada 840–1120 Masehi.
Pada awal abad ketujuh, sebuah Kerajaan Melayu Tua muncul di dekat muara Sungai Batanghari. Berita pertama mengenai keberadaan Kerajaan Melayu Kuno itu didapat dari catatan Dinasti Tang, yaitu mengenai datangnya utusan dari daerah Mo-Lo-Yeu di China tahun 644 dan 645 Masehi. Nama daerah ini dihubungkan dengan Kerajaan Melayu yang letaknya di pantai timur Sumatera, yang pusatnya berlokasi di sekitar Jambi.
Kerajaan tersebut menguasai pelabuhan tua di muara sungai yang kemudian menjadi tempat berkembang pesatnya perdagangan, hingga mampu menarik perhatian kerajaan besar Sriwijaya di Palembang. Kerajaan inilah yang kemudian pada tahun 686 menaklukkan Kerajaan Melayu Tua dan menguasai pelabuhannya.
Agama Islam baru masuk ke Jambi pada abad ke-16, bersamaan dengan kedatangan Belanda di daerah ini. Pada tahun 1616, perusahaan Belanda The Dutch East India Company membuka kantornya di Jambi yang kemudian membuat kerja sama dagang dengan penguasa Melayu Sultan Muhammad Nakhruddin.
Pada masa itu, Belanda juga berhasil mendapatkan hak monopoli dalam perdagangan lada yang banyak dihasilkan dari wilayah Jambi, dan pada tahun 1901 Belanda memindahkan kantor dagangnya ke Palembang, Sumatera Selatan dan melepaskan pengawasannya atas Jambi.
Pada akhir abad ke-19, di wilayah Jambi terdapat Kerajaan atau Kesultanan Jambi. Tahun 1855, Kesultanan Jambi diperintah oleh Sultan Thaha Syaifuddin. Pada saat Belanda mulai menduduki Kesultanan Jambi, tepatnya tahun 1858, Sultan Thaha menyingkir dari keraton dan melakukan perang gerilya. Dia gugur dalam perang melawan penjajah tahun 1904.
Sultan Thaha Syaifuddin merupakan pahlawan nasional asal Jambi. Ia dilahirkan pada pertengahan tahun 1816 di Keraton Tanah Pilih Jambi. Ia adalah sultan terakhir dari Kesultanan Jambi. Ia merupakan putra dari Sultan M Fachrudin dengan gelar Sultan Kramat.
Dengan berakhirnya masa Kesultanan Jambi, menyusul gugurnya Sultan Thaha Syaifuddin tanggal 27 April 1904, Belanda menguasai wilayah Jambi sepenuhnya. Tahun 1906, Belanda mulai membentuk administrasi pemerintahan di Jambi.
Jambi yang sebelumnya ditangani oleh Keresidenan Palembang, menjadi keresidenan tersendiri. Sebagai residen Jambi yang pertama adalah OL Helfrich, sebelumnya dia menjabat sebagai Asisten Residen Palembang.
Susunan pemerintahan Jambi pada zaman Belanda masih memperhatikan susunan adat seperti di zaman kesultanan, namun disesuaikan dengan politik jajahannya. Pemerintahan Jambi di era penjajahan Belanda berturut-turut dari level teratas sampai terbawah adalah Residen-Kontrolir-Demang-Asisten Demang-Kepala Adat/Pasirah-Penghulu/Kepala Dusun-Rakyat.
Rakyat Jambi tidak sepenuhnya mengakui pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini terbukti dengan adanya perlawanan, yaitu Perang Sarikat Abang yang terjadi pada tahun 1916. Perlawanan ini dapat dihentikan oleh Belanda dan tokoh-tokoh perlawanannya disidangkan dalam suatu pengadilan yang dinamakan Pengadilan Rapat Besar Istimewa. Tokoh-tokoh perlawanan tersebut kemudian dibuang ke Digul, Ternate, dan Nusakambangan.
Setelah peristiwa pembangkangan tersebut, Belanda semakin memperketat ruang gerak rakyat dengan mengadakan pembatasan-pembatasan berbagai kegiatan perkumpulan dan organisasi politik. Akibatnya, semua perkumpulan dan organisasi politik vakum dan akhirnya mati. Jambi, akhirnya menjadi daerah yang kosong dari organisasi politik.
Larangan Belanda tersebut ternyata tidak hanya pada organisasi politik, melainkan melebar pada dunia pendidikan. Belanda melarang rakyat Jambi untuk bersekolah atau mendirikan sekolah. Setelah beberapa tokoh memperjuangkan pendirian sekolah, seperti yang dilakukan oleh H Nawawi, HM Chatib, akhirnya beberapa sekolah berdiri, namun dengan pengawasan yang ketat.
Kekuasaan Belanda atas Jambi berlangsung kurang lebih 36 tahun karena pada tanggal 9 Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Situs Candi Muaro Jambi—Pengunjung melihat Candi Tinggi di Kompleks Situs Candi Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sabtu (10/11/2012). Kompleks situs ini luasnya sekitar 17,5 kilometer persegi dan diperkirakan ada sekitar 110 buah candi. Situs Muaro Jambi yang diperkirakan dibangun sejak abad ke-4 hingga ke-11 Masehi ini menjadi tempat pengembangan ajaran Budha pada masa Melayu Kuno. Situs ini kini terancam perusakan oleh tambang batu bara dan industri pengolahan minyak sawit.
Pada masa penjajahan Jepang, rakyat tertipu dengan propaganda “Sang Saudara Tua” yang akan memberi kemakmuran. Namun, janji Jepang tersebut ternyata tidak dilakukan. Alih-alih menyejahterakan rakyat Jambi, Jepang menerapkan pemerintahan yang kejam ketika itu.
Bahan pangan yang dimiliki rakyat dirampas dan sebagian rakyat dijadikan romusha. Kegiatan politik rakyat dilarang, bahkan dalam kegiatan sehari-hari pun selalu dimata-matai oleh tentara Jepang. Keadaan ini berlangsung sampai Indonesia merdeka, tanggal 17 Agustus 1945.
Pada awal kemerdekaan, Sumatera masih menjadi satu provinsi, yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai ibu kotanya. Ketika itu, Teuku Muhammad Hasan ditunjuk sebagai Gubernur Sumatera.
Pada tanggal 18 April 1946, Komite Nasional Indonesia Sumatera bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga subprovinsi, yaitu sub-Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.
Sub-Provinsi Sumatera Tengah mencakup keresidenan Sumatra Barat, Riau, dan Jambi. Tarik-menarik keresidenan Jambi untuk masuk ke Sumatera Selatan atau Sumatera Tengah ternyata cukup alot dan akhirnya ditetapkan dengan pemungutan suara pada Sidang KNI Sumatera tersebut dan Keresidenan Jambi masuk ke Sumatera Tengah. Sub-subprovinsi dari Provinsi Sumatera ini kemudian, dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948, ditetapkan sebagai provinsi.
Dengan UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Keresidenan Jambi saat itu terdiri dari dua kabupaten dan satu Kota Praja Jambi. Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merangin yang mencakup Kewedanaan Muara Tebo, Muaro Bungo, Bangko; dan Kabupaten Batanghari yang terdiri dari Kewedanan Muara Tembesi, Jambi Luar Kota, dan Kuala Tungkal.
Pada tanggal 9 Agustus 1957, Presiden Soekarno menandatangani UU Darurat Nomor 19 tahun 1957 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Dengan UU Nomor 61 tahun 1958 tanggal 25 Juli 1958, UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Sumatera Tingkat I Sumatera Barat, Djambi, dan Riau ditetapkan sebagai undang-undang.
Dalam UU Nomor 61 Tahun 1958 disebutkan, daerah Swatantra Tingkat I Jambi wilayahnya mencakup wilayah daerah Swatantra Tingkat II Batanghari, Merangin, dan Kota Praja Jambi serta Kecamatan-Kecamatan Kerinci Hulu, Tengah, dan Hilir.
Pada tanggal 30 Desember 1958, pejabat gubernur meresmikan berdirinya Provinsi Jambi atas nama Mendagri di Gedung Nasional Jambi (sekarang gedung BKOW).
Jambi sebagai daerah pemukiman atau pemusatan penduduk bahkan sebagai pusat kedudukan pemerintahan telah berjalan dari masa ke masa. Sejarah Dinasti Sung menguraikan bahwa Maharaja San-fo-tsi (Swarnabhumi) bersemayam di Chan-pi. Utusan dari Chan-pi datang untuk pertama kalinya di istana Kaisar China pada tahun 853M. Utusan ke dua kalinya datang pula pada tahun 871M. Informasi ini menorehkan bahwa Chan-pi (yang diidentifikasikan Prof. Selamat Mulyana sebagai Jambi) sudah muncul diberita China pada tahun – tahun tersebut. Dengan demikian Chan-pi atau Jambi sudah ada dan dikenal pada abad ke 9M. Berita China Ling Pio Lui (890-905M) juga menyebut Chan-pi (Jambi) mengirim misi dagang ke China.
Silsilah Raja-raja Jambi tulisan Ngebih Suto Dilago Priayi Rajo Sari pembesar dari kerajaan Jambi yang berbangsa 12, menulis Putri Selaro Pinang Masak anak rajo turun dari Pagaruyung di rajakan di Jambi. Dari sebutan Pinang dalam bahasa Jawa (Sunda) dilapas sebagai Jambe sehingga ditenggarai banyak orang sebagai asal kata Jambi. Jadi ada perubahan bunyi dan huruf dari Jambe ke Jambi. Identifikasi ini menginformasikan kata Jambe-Jambi terbuhul pada abad ke 15 yaitu di masa Puteri Selaro Pinang Masak memerintah dikerajaan Jambi Tahun 1460-1480.
Raden Syarif (yang kemudian diungkapkan kembali oleh Datuk Sulaiman Hasan) dari “Riwayat Tanjung Jabung Negeri Lamo” mencatat bahwa Puteri Selaro Pinang Masak mengilir dari Mangun Jayo ke Tanjung Jabung di pandu oleh sepasang itik besar (Angso Duo) yang mupur ditanah pilih pada tanggal 28 Mei 1401. Legenda Tanah Pilih ini berbeda versi dengan Ngebi Suto Dilago. Silsilah Raja-raja Jambi menyebut Orang Kayo Hitam (salah seorang putera dari pasangan puteri Selaro Pinang Masak dengan Ahmad Barus II/Paduko Berhalo) yang mengilir mengikuti sepasang itik besak (Angso Duo) atas saran petuah mertuanya Temenggung Merah Mato Raja Air Hitam Pauh.
Profesor Moh. Yamin mengidentifikasi Jambi berada disekitar Kantor Gubernur Jambi di Telanaipura sekarang. Indikasi ini atas dasar mulai dari kawasan Mesjid Agung Al-falah sampai ke Pematang pinggiran Danau Sipin terdapat deretan struktur batuan bata candi yang diantaranya menunjukan sebagai komplek percandian yang cukup besar dikawasan kampung Legok.
Tidak tertutup kemungkinan penemuan tanah pilih oleh sepasang Angso yang mupur tersebut adalah pembukaan kembali Kota Chan-pi yang ditinggal karena kerajaan SwarnaBhumi (San-fo-tsi) diserang oleh Singosari dalam peristiwa Pamalayu tahun 1275M dan pindah ke pedalaman Batang Hari yang kemudian dikenal sebagai Darmasraya (Sumatera Barat). Dua Puteri Melayu/Darmasraya yaitu Dara Petak dan Dara Jingga diboyong oleh Mahisa Anabrang ke Singosari pada tahun 1292. Ternyata di saat itu Singosari telah runtuh oleh pemberontak dan kemudian mendapat serbuan tentara Khu Bilaikhan. Singosari berganti menjadi Majapahit dengan Rajanya Raden Wijaya. Salah seorang keturunan Puteri melayu itu yaitu dari pasangan Dara Jingga yaitu Adityawarman kembali ke Darmasraya kemudian mendirikan dan menjadi Raja di Pagaruyung (1347-1375M). Anaknya yang bernama Ananggawarman meneruskan teratah kerajaan Pagaruyung. Keturunan Ananggawarman salah satunya adalah Puteri Selaro Pinang Masak yang dirajakan di Jambi.
Setelah Orang Kayo Hitam dirajakan pusat kerajaan dipindahkan dari Ujung Jabung ke Tanah Pilih Jambi disekitar awal abad ke 16. Jadilah Jambi kembali sebagai tempat kedudukan Pemerintahan.
Pangeran Depati Anom yang naik tahta dikerajaan Jambi bergelar Sultan Agung Abdul Jalil (1643-1665M) pernah memberikan surat izin untuk mendirikan pasar tempat berjual beli di Muaro Sungai Asam pada seorang Belanda bernama Beschseven. Izin Sultan tersebut tertanggal 24 Juni 1657 dimana lokasi yang diizinkan itu kemudian berpindah dari Muaro Sungai Asam ke sekitar Muaro Sungai di bawah area WTC Batang Hari sekarang.
Jambi sebagai pusat pemukiman dan tempat kedudukan raja terus berlangsung. Istana yang dibangun di Bukit Tanah Pilih disebut sebagai istana tanah pilih yang terakhir sebagai tempat Sultan Thaha Saifuddin dilahirkan dan dilantik sebagai sultan tahun 1855. Istana Tanah Pilih ini kemudian di bumi hanguskan sendiri oleh Sultan Thaha tahun 1858 menyusul serangan balik tentara Belanda karena Sultan dan Panglimanya Raden Mattaher menyerang dan berhasil menenggelamkan 1 kapal perang Belanda Van Hauten di perairan Muaro Sungai Kumpeh.
Dari puing – puing Istana Tanah Pilih oleh Belanda dikuasai dan dijadikan tempat markas serdadu Belanda. Praktis setelah Sultan Thaha Saifuddin gugur tangga 27 April 1904 Belanda secara utuh menempatkan wilayah kerajaan Jambi sebagai bagian wilayah kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Jambi kemudian berstatus Under Afdeling di bawah Afdeling Palembang. Pada Tahun 1906 Under Afdeling Jambi ditingkatkan sebagai Afdeling Jambi kemudian di tahun 1908 Afdeling Jambi menjadi Kerisidenan Jambi dengan residennya O.L. Helfrich berkedudukan di Jambi. Sampai masa Kemerdekaan pejabat Residen dari Keresidenan Jambi berkedudukan di Jambi. Setelah Republik Indonesia di Proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, berdasarkan berita RI Tahun II No. 07 hal 18 tercatat untuk sementara waktu daerah Negara Indonesia di bagi dalam 8 Provinsi yang masing – masing dikepalai oleh seorang Gubernur diantaranya Provinsi Sumatera. Provinsi Sumatera ini kemudian pada tahun 1946 dibagi lagi dalam 3 sub Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Keresidenan Jambi dengan hasil voting dimasikan ke dalam wilayah Sub Provinsi Sumatera Tengah.
Residen Jambi yang pertama di masa Republik adalah Dr. Asyagap sebagaimana tercantum dalam pengumuman Pemerintah tentang pengangkatan residen, Walikota di Sumatera dengan berdasarkan pada surat ketetapan Gubernur Sumatera tertanggal 03 Oktober 1945 No. 1-X.
Pada tahun 1945 tersebut sesuai Undang-undang no.1 tahun 1945 wilayah Indonesia terdiri dari Provinsi, Karesidenan, Kewedanaan dan Kota. Tempat kedudukan Residen yang telah memenuhi syarat, disebut Kota tanpa terbentuk struktur Pemerintahan Kota. Dengan demikian Kota Jambi sebagai tempat kedudukan Residen Keresidenan Jambi belum berstatus dan memiliki pemerintahan sendiri. Kota Jambi baru diakui berbentuk pemerintahan ditetapkan dengan ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 tahun 1946 tertanggal 17 Mei 1946 dengan sebutan Kota Besar dan Walikota pertamanya adalah Makalam.
Mengacu pada Undang-undang No. 10 tahun 1948 Kota Besar menjadi Kota Praja. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 1965 menjadi Kota Madya dan berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 Kota Madya berubah menjadi Pemerintah Kota Jambi sampai sekarang.
Dengan Undang-undang No. 19 Tahun 1958 Keresidenan Jambi sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Tengah dikukuhkan sebagai Provinsi Jambi yang berkedudukan di Jambi. Kota Jambi sendiri pada saat berdirinya Provinsi Jambi telah berstatus Kota Praja dengan Walikotanya R. Soedarsono.
Tanggal penetapan Kota Jambi sebagai Kota Praja yang mempunyai Pemerintahan sendiri sebagai Pemerintah Kota dengan ketetapan Gubernur Sumatera No. 103 Tahun 1946 tertanggal 17 Mei 1946 dipilih dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Jambi No. 16 Tahun 1985 dan disahkan dengan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jambi No. 156 Tahun 1986, tanggal 17 Mei 1946 itu sebagai Hari Jadi Pemerintah Kota Jambi.
(Drs.H.Junaidi.T.Noor.MM)
"Sepucuk Jambi sembilan lurah" (Melayu: Wilayah Jambi yang dahulu dibagi menjadi sembilan daerah aliran sungai)
Jambi adalah sebuah Provinsi di Indonesia yang terletak di pesisir timur, di bagian tengah Pulau Sumatera. Ibukota Provinsi ini berada di Kota Jambi. Provinsi Jambi memiliki luas wilayah 50.160,05 km2, dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2024 sebanyak 3.795.579 jiwa.[1][2]
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini, sering disebut dalam prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Kien-pi atau Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri empat kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu kerajaan Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M), Kantoli (abad ke-5) dan Zabag.[5][6] Daerah pedalaman Jambi juga ditemukan Prasasti Karang Berahi, prasasti ini berbahasa Melayu Kuno ditulis dalam aksara Pallawa, dengan pertanggalan abad ke 7 Masehi.[7]
Jambi juga terkenal mempunyai kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektare, yang dikenal dengan nama Candi Muaro Jambi. Kemungkinan besar merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, yang diperkirakan berasal dari (abad ke-7–12 M). Candi Muara Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di Pulau Sumatra.[8]
Ada beberapa versi tentang asal usul nama Jambi:
Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.[butuh rujukan]
Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab:, yang secara harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.[butuh rujukan]
Kata Jambi ini sebelum ditemukan oleh Orang Kayo Hitam atau sebelum disebut Tanah Pilih, bernama Kampung Jam, yang berdekatan dengan Kampung Teladan, yang diperkirakan di sekitar daerah Buluran Kenali sekarang. Dari kata Jam inilah akhirnya disebut “Jambi”.[butuh rujukan]
Menurut teks Hikayat Negeri Jambi, kata Jambi berasal dari perintah seorang raja yang bernama Tun Telanai, untuk untuk menggali kanal dari ibu kota kerajaan hingga ke laut, dan tugas ini harus diselesaikan dalam tempo satu jam. Kata jam inilah yang kemudian menjadi asal kata Jambi.[butuh rujukan]
Provinsi Jambi secara geografis berada di pesisir timur persis di tengah Pulau Sumatra, ibu kotanya berada di kota Jambi. Provinsi Jambi adalah nama provinsi di Indonesia yang ibu kotanya memiliki nama sama dengan provinsi, selain Bengkulu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Gorontalo.
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Kerajaan Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kerajaan Kandali/ Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajaan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.[butuh rujukan]
Dalam sejarah kerajaan di Nusantara wilayah Minanga Kamwa (nama Minang Kabau Kuno 1 M) adalah tanah asal pendiri Kerajaan Melayu dan Sriwijaya dari wilayah Minanga Kamwa inilah banyak lahir raja-raja di Nusantara, baik sekarang yg berada di Malaysia, Brunei dan Indonesia di negeri Jambi ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dahulu.[butuh rujukan]
Perkembangan agama Hindu dan Buddha adalah sejarah penting bagi perkembangan Jambi pra-Islam. Pada masa ini, Jambi pernah menjadi salah satu wilayah penting bagi penyebaran agama dunia, khususnya di Asia. Kesimpulan tentang pentingnya posisi Jambi pada masa Hindu-Buddha tersebut terutama didasarkan pada penelitian- penelitian sejarah dan arkeologi di kawasan Candi Muaro Jambi yang bercorak Hindu-Buddha. Berdasarkan temuan-temuan di sekitar kawasan, candi ini diyakini sebagian besar dibangun mulai abad ke- 8-9 secara bertahap. Namun sejarawan Jambi, Fachruddin Saudagar, bahkan meyakini pembangunan candi telah dirintis sejak abad ke-4 di daerah yang merupakan daerah garis pantai purba berbentuk teluk bernama Teluk Wen yang menjorok hingga ke daerah Muara Tebo dan Sarolangun. Keberadaan candi ini menguatkan pendapat bahwa Melayu (Jambi) merupakan kerajaan Hindu tertua di Sumatra yang telah berdiri tahun 644 M.[9](hlm.67)
Waktu penyebaran agama Hindu dan Buddha di Jambi tidak bisa ditetapkan secara pasti. Prediksi yang memungkinkan disusun berdasarkan perkembangan Candi Muaro Jambi yang pada awalnya diperkirakan berfungsi sebagai tempat pendidikan agama Buddha di Nusantara. Dalam perjalanannya mempelajari agama Buddha, I'tsing (Yi Jing) sempat berkunjung dua kali di tanah Mo-lo-yeu untuk memperdalam pengetahuan tentang Buddha yaitu tahun 671 dan antara 689-695. Pentingnya negeri yang juga disebutnya Foshi ini sebagai tempat belajar agama Buddha, mendorong I'tsing menyarankan para agamawan Buddha untuk belajar dahulu 1-2 tahun di sini sebelum berangkat ke India. Selain itu, umumnya peneliti meyakini bahwa Candi Muaro Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Melayu tua dan Sriwijaya hingga abad ke-12 dengan raja terakhirnya Tun Telanai (1080-1168 M).[a][9](hlm.67-68)
Catatan I'tsing tersebut sekaligus menegaskan bahwa saat kedatangannya ke tanah Mo-lo-yeu, ajaran Buddha telah berkembang pesat di sana. Bukti penyebaran agama Hindu dan Buddha di sekitar Palembang dan Jambi juga didasarkan pada isi prasasti-prasasti zaman Sriwijaya yang menerangkan prosesi- prosesi dan sistem keyakinan yang mencerminkan nilai-nilai dan tradisi Hindu-Buddha. Setidaknya ada enam prasasti penting yaitu prasasti Talang Tuo yang ditemukan di sebelah Barat Bukit Siguntang bertahun 684 M, prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di sebelah Selatan Bukit Siguntang bertahun 682 M, prasasti Sabokingking, prasasti Kota Kapur di daerah Bangka bertahun 686 M, prasasti Karang Berahi di daerah Merangin, Jambi, dan prasasti Palas Pasemah di daerah Lampung. Mempertimbangkan catatan I'tsing dan penanggalan prasasti ini maka bisa dipahami bahwa ajaran Hindu dan Buddha telah tersebar di Palembang dan Jambi sejak awal abad ke-7 atau lebih awal lagi.[9](hlm.68-69)
Penetapan lokasi dan status Mo-lo-yeu dan Sriwijaya, atau nama lainnya, serta dinamika hubungan antara keduanya tetap menjadi lahan analisis yang terbuka hingga saat ini, meskipun sudah seabad sejak para ilmuwan mulai melakukan kajian-kajian intensif terkait. Pendapat yang lebih umum adalah Mo-lo-yeu berlokasi di Jambi, sedangkan Sriwijaya awalnya berpusat di Palembang. Catatan I'tsing dan rekam peristiwa beberapa dinasti Cina adalah sumber utama yang menjelaskan keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut sejak abad ke-7 M. Terlepas dari perdebatan tersebut, baik Mo-lo-yeu maupun Sriwijaya, merupakan kerajaan bertetangga di bawah pengaruh Buddha, bahkan sempat menjadi salah satu pusat pendidikan agama Buddha pada masanya.[9](hlm.69)
Sepanjang abad ke-7 M hingga abad ke-14 M, Sriwijaya, termasuk Jambi di dalamnya, menjadi kerajaan besar yang berpengaruh di jalur perdagangan Selat Malaka. Kerajaan-kerajaan Sumatra cenderung bertumbuh di daerah pesisir Timur karena pertimbangan penguasaan jalur perdagangan yang memanfaatkan sungai-sungai besar bermuara ke Selat Malaka. Ibu kota kerajaan berperan sebagai "penjaga gawang" arus perdagangan di muara sungai (dalam istilah Melayu disebut kuala) yang umumnya menjadi kota pelabuhan dagang. Namun, ibu kota kerajaan tidak selalu berada di tepi pantai sehingga sering kali tugas pengontrolan pelabuhan dagang dilakukan oleh syahbandar, dan patroli laut didukung oleh Orang Laut yang loyal kepada kerajaan. Sementara di pantai Barat, jalur perdagangan cenderung membentuk garis sisir, yang memungkinkan komunitas lokal membangun pelabuhan dagang di mana saja. Karena itu pula, belasan pelabuhan dagang yang berdiri di sepanjang pantai Barat, cenderung memiliki independensi dan kesetaraan.[9](hlm.71-72)
Meskipun struktur politik Mo-lo-yeu diperkirakan muncul sejak abad ke-7 M, tidak berarti sebelumnya belum ada struktur politik di wilayah yang sekarang disebut Jambi. Sumber lain bahkan mencatat bahwa kerajaan Melayu (Moloyou) di Jambi terentang dari masa abad ke-3 M dengan nama Koying, abad ke-4 dengan nama The Hu Pho (Tebo) dan abad ke-5 M dengan nama Kuntala (Kuala Tungkal) dan kemudian memanjang sampai abad ke-13 M dengan nama Melayu yang kemudian runtuh lalu muncul kerajaan baru bercorak Islam di abad ke-16 M. Sejarah Melayu Tua berakhir di tanah Jambi dikaitkan dengan kisah terbunuhnya Tun Telanai sebagai penguasa terakhirnya. Naskah Hikayat Negeri Jambi menceritakan bahwa Tun Telanai terbunuh dalam perang melawan anaknya yang dibuang ke laut saat masih bayi dan kemudian menjadi putra mahkota Kerajaan Siam. Keberadaan Tun Telanai sebagai raja terakhir Jambi periode pra-Islam juga ditulis dalam naskah ISKJ[b] pasal Silsilah Raja-raja Jambi.[9](hlm.72)
Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan Dinasti Tang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7 M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu Kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan.[butuh rujukan]
Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatra, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Adityawarman mendirikan Kerajaan Dharmasraya di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Chola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dahulu berdiri, tetapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.[butuh rujukan]
Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu namanya adalah Dharmasraya. Hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1270–1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak Menjelang akhir abad ke-13, Wangsa Kartanegara Dari Kerajaan Singhasari, mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kertanagara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Tanah Jawi versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kertanagara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M.[butuh rujukan]
Pada tahun 1286 M, Kertanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kertanegara ini. Sebagai tanda terima kasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Adityawarman. Ketika utusan Kertanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singasari telah hancur akibat serangan dari Kubilai Khan dari Dinasti Yuan yang dibantu Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian menyerang balik pasukan Kubilai Khan dan mengklaim seluruh wilayah Kerajaan Singasari, dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet.[butuh rujukan]
Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara. Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Adityawarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatra, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatra, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya.[butuh rujukan]
Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru, yakni Suvarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Desa jambi tulo-jambi kecil, maro sebo, muaro jambi, Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Adityawarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.[butuh rujukan]
Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau diperairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini. Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka.[butuh rujukan]
Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibu kota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.[butuh rujukan]
Sejarah awal Kesultanan Melayu Islam Jambi bisa diprediksi kurang lebih bersamaan dengan penyebaran Islam secara masif di Sumatra, yaitu pada abad kelima belas.[10](hlm.43) Naskah ISKJ, pasal Undang Namanya Hukum Adat bagian kedua pasal 36 menyebutkan bahwa Jambi berkonversi menjadi Islam lebih awal yaitu pada tanggal 1 Muharam 700 H/23 September 1300 M pada zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduka Berhala. Sementara itu, buku Jambi dalam Sejarah 1500-1942 menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Jambi pada abad ke-14 M, bersamaan dengan dimulainya masa Kerajaan Jambi oleh Datuk Paduka Berhala. Merujuk pada dua referensi terakhir, penetapan waktu islamisasi Jambi menjadi kurang rasional jika dihadapkan pada perkiraan waktu pemerintahan Orang Kayo Hitam sebagai raja kedua Kesultanan Jambi yang ditulis pada 1500 M dalam referensi-referensi kontemporer. Penetapan waktu ini memberikan jarak hampir 200 tahun antara proses konversi orang Jambi menjadi Islam dengan dimulainya pemerintahan Orang Kayo Hitam. Penggambaran waktu ini juga tidak sesuai jika merujuk pada perkiraan tahun datangnya Datuk Paduka Berhala ke Jambi yang tertulis di makamnya yaitu tahun 1440 M dan meninggal pada tahun 1480 M.[9](hlm.72-73)
Merujuk pada penjelasan dalam naskah tersebut, islamisasi Jambi baru terjadi sekitar abad ke-15-16 melalui jalur Turki. Namun, belum ada bukti arkeologis maupun kajian pendukung lainnya yang mendukung teori ini. Pada abad ke-17, beberapa orang Arab diketahui telah berdiam di Jambi, termasuk dari klan sayyid. Sayyid Husin bin Ahmad Baraghbah tercatat datang ke Jambi tahun 1626 M, dan menurut informasi lisan masyarakat di sekitar makamnya di Seberang, Sayyid Husin merupakan tetua marga Baraghbah di Indonesia. Namun, penyebaran Islam bisa jadi telah berlangsung jauh lebih awal bahkan sejak abad ke-7 M sebagaimana pendapat sebagian sejarawan tentang waktu mulainya penyebaran Islam di Sumatra. Pendapat ini dimungkinkan dari rute pelayaran dagang Arab ke Cina yang harus melewati perairan Nusantara sejak jalur darat yang digunakan sepanjang masa Dinasti Umayyah terputus akibat perang.[11](hlm.2-3) [12](hlm.257-258) [13](hlm.26-27) Berlabuh di pesisir Jambi dan Palembang adalah hal yang sangat mungkin dilakukan oleh pelaut muslim pada masa itu mengingat daerah itu merupakan pelabuhan dagang penting pada masa Sriwijaya.[9](hlm.73-74)
Keberadaan negeri Melayu dan Sriwijaya juga telah muncul dalam catatan bangsa Arab dan Persia sejak pertengahan abad ke-9 dengan menyebut daerah Zabaj, Zabaq, atau Sribuja, meskipun beberapa ahli memperkirakan bahwa daerah yang dimaksud meliputi Sumatra bagian Selatan sampai ke Jawa.[14](hlm.52-121) [15](hlm.13-15) Korespondensi yang dilakukan oleh raja Sriwijaya pada khalifah Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz yang antara lain meminta dikirimnya ulama ke sriwijaya memperkuat argumen ini.[16](hlm.20-31) [17](hlm.4-7) Fakta-fakta tersebut menunjukkan kemungkinan penyebaran Islam di Jambi, bersama Palembang, telah dimulai pada abad ke-7 M, namun proses islamisasi dalam bentuk pembentukan kesatuan politik baru terjadi sekitar abad ke-14-15 M yang ditandai berdirinya cikal bakal Kesultanan Jambi bercorak Melayu-Islam.[9](hlm.74)
Jika merujuk pada keterangan di atas, Kesultanan Jambi dapat dikatakan sebagai kesultanan Islam awal di Sumatra Tegah. Kerajaan Jambi telah menjadi Kerajaan Islam sejak masa pemerintahan Orang Kayo Hitam (1500 M), walaupun kemudian baru menggunakan istilah kesultanan, dan sultan sebagai penguasanya, pada masa pemerintahan Abdul Kahar bin Panembahan Kota Baru (1615-1643 M). Sementara itu, Kesultanan Palembang baru menjadi kesultanan Islam, sekaligus menjadi titik awal memisahkan diri dari Mataram, pada tahun 1659 M dengan sultan pertamanya Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abd al-Rahman Khalifah al-Mukminin Sayidul Imam.[18](hlm.1) Namun, kesimpulan yang hanya berdasar pada hikayat semacam ini tentu sangat lemah akurasinya. Masih butuh kajian lebih mendalam tantang hal ini.[9](hlm.74-75)
Sumber-sumber tertulis yang ada memulai cerita lahirnya Kerajaan Jambi dengan merujuk pada tokoh Datuk Paduka Berhala (Ahmad Barus II), seorang pangeran dari Turki anak dari Zain al-'Abidin.[c] Sumber lokal yang mencatat sejarah dan silsilah raja-raja Jambi adalah naskah Hikayat Negeri Jambi dengan versi lainnya Hikaijat Toean Telani, serta naskah UUPJ[d] dan ISKJ[e] yang dirujuk hampir persis dalam buku Jambi dalam Sejarah 1500-1942 dengan menyertakan tahun berkuasa masing-masing raja. Adapun sumber Eropa, terdapat beberapa tulisan dalam laporan-laporan pejabat Belanda maupun laporan-laporan ekspedisi yang menjelaskan silsilah raja-raja Jambi, di antaranya adalah "Stamboom van het Vorstenhuis (Keraton) van Djambi"[f] dan "Djambi Rapport Aug. '02 door Prof. dr. Snouck Hurgronje aan A. F. Folkersma"[g] Selain itu, tulisan Tideman dan Sigar, Barbara Watson Andaya, Elsbeth Locher-Scholten dan terakhir disertasi Annabel Teh Gallop adalah sumber paling penting tentang nama-nama sultan dan masa pemerintahannya.[9](hlm.75-76)
Jadi secara de jure, wilayah Jambi dikuasai oleh Kerajaan Jambi yang cikal bakalnya didirikan oleh Datuk Paduka Berhala pada akhir abad ke-15 M. Kerajaan Jambi mulai bercorak Islam pada awal abad ke-17 M dengan raja pertama yang menggunakan gelar sultan adalah Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar. Para sultan bertakhta di Tanah Pilih, sekitar Masjid al-Falah Kota Jambi sekarang, dan memerintah daerah Jambi dengan derajat keterikatan yang lemah sebagaimana umum ditemukan pada kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Asia Tenggara lainnya. Daerah-daerah memiliki otonomi yang cukup besar terutama di daerah uluan[h] yang menjadi pusat produksi barang-barang perdagangan semacam hasil hutan, lada, dan penambangan emas.[9](hlm.6-7)
Hubungan antara penguasa lokal dan kerajaan adalah hubungan redistribusi, di mana penguasa lokal menyuplai barang-barang yang diperoleh dari masyarakat kepada kerajaan dengan imbal balik peran serta dan bantuan dalam masalah-masalah yang dihadapi daerah seperti bencana alam, serangan orang luar, termasuk dalam penyelesaian konflik yang tidak bisa tuntas di daerah. Dengan kata lain, hubungan daerah dengan kesultanan sebagai pusat kekuasaan menggambarkan hubungan mutualisme yang jika semakin jauh wilayahnya maka semakin kendor ikatannya. Selain fakta geografis yang memisahkan wilayah ibu kota dengan pedalaman, kemampuan mengontrol daerah juga dipengaruhi oleh lemahnya struktur politik-pemerintahan kesultanan.[9](hlm.7-8)
Pada saat Belanda masih menjajah wilayah Nusantara, Jambi masih dalam bentuk kesultanan. Kesultanan Jambi memasuki masa kejayaan ekonomi pada abad ke-17 M. Pada masa ini, Jambi terlibat dalam perdagangan internasional di jalur Selat Malaka dengan negara-negara kawasan, imperium Cina, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Kelompok-kelompok Arab mulai menetap di Jambi dan kemudian hari menjadi kelompok paling berpengaruh dalam kesultanan terutama setelah memasuki abad ke-19 M. Kesultanan Jambi juga mulai menjalin hubungan dengan bangsa Eropa melalui perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang masuk ke Jambi pada tahun 1615 M. Meski didasari motif utama kepentingan ekonomi, VOC juga terlibat dalam urusan politik kesultanan sejak masa-masa awal kedatangannya. Struktur politik-pemerintahan tradisional di Kesultanan Jambi yang telah berlangsung berabad-abad perlahan mengalami deviasi dengan kewenangan yang sebagian mulai beralih kepada Belanda melalui kontrak-kontrak yang dibuat sejak awal abad ke-17. VOC meninggalkan Jambi pada akhir abad ke-18 dan sejak itu Jambi tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan Belanda.[9](hlm.9)
Awal abad ke-19, Belanda kembali berusaha membangun hubungan dengan Jambi. Pada masa ini, Kesultanan Jambi berada dalam situasi krisis ekonomi dan krisis legitimasi yang memicu pergolakan internal. Sejak kemunduran ekonomi yang dimulai pada akhir abad k-17, perekonomian Kesultanan Jambi tidak pernah bangkit lagi. Krisis legitimasi yang disebabkan oleh persoalan moral memicu perang saudara pada tahun 1811 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muhyiddin. Meskipun sultan berhasil mempertahankan takhta dengan bantuan sepupunya, Raden Rangga, konflik internal kesultanan tetap berlangsung hingga dekade ketiga abad ke-19.[10] naik takhta menggantikan pamannya pada tahun 1855 M.[9](hlm.9-10) Karena sultan menolak mengakui kedaulatan Belanda atas Jambi sebagaimana yang diyakini Belanda berdasarkan perjanjian sebelumnya.[9](hlm.266)
Upaya Jambi mengidentifikasi diri dengan kesultanan Turki 'Uthmany semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Thaha. Tidak hanya menjadi sultan yang anti kolonial, Sultan Thaha juga berusaha membangun jaringan dengan Turki 'Uthmany dalam sebuah relasi pan-islamisme. Ketika menghadapi situasi sulit atas tekanan Belanda untuk menandatangani kontrak baru setelah dibatalkannya kontrak tahun 1833 M, Thaha berusaha mendapatkan dukungan dari Turki 'Uthmany dengan mengirim surat pada ke sultan. Surat ini dikirim Sultan Thaha pada tahun 1857 M. Pertengahan tahun 1857 M pangeran ratu mengirimkan surat Sultan Thaha ke Turki melalui Singapura.[19](hlm.33) Masa-masa upaya perundingan yang dilakukan Belanda, Thaha mengirim surat melalui koneksi-koneksinya di Singapura, di mana salah seorang yang bernama Sharif 'Aly menerima biaya perjalanan sejumlah 30.000 dolar Spanyol. Namun, Sharif 'Aly hanya berangkat sampai ke Mesir, di mana di sana dia mendapat surat palsu yang menyatakan bahwa Turki 'Uthmany telah mengesahkan pengusiran Belanda dari Asia Tenggara. Meski demikian, surat sultan tetap sampai ke Turki. Pemerintah Turki 'Uthmany berjanji tidak memberikan balasan setelah mengonfirmasi kepada konsulat Belanda terkait status Jambi, dan Belanda menjawab bahwa Jambi adalah wilayahnya. Setelah itu, kemungkinan ada utusan lagi pada tahun 1861 yaitu orang Arab-Singapura yang berangkat ke Mekah.[20][9](hlm.101-102)
Tahun 1857 M pangeran ratu berangkat ke Singapura untuk membicarakan pengiriman surat ke Turki. Surat Sultan Thaha kemudian dititipkan pangeran ratu kepada pembesar Singapura dengan biaya 30.000 dolar Spanyol. Dalam catatan kaki uraiannya, orang yang dipercayakan menjalankan misi ini bernama Sharif 'Aly alias Sayyid 'Aly al-Jufry. Menurut satu kabar dia berangkat ke Turki pada bulan Juni 1858 M setelah upaya perundingan kedua Jambi-Belanda, dan menurut kabar lain dia berangkat ke Turki setelah sultan boneka, Ahmad Nazaruddin[i], naik takhta. Tidak ada data kesimpulan tentang waktu keberangkatan ini, selain dari data yang dipercayai bahwa Sharif 'Aly tinggal di Singapura sejak November 1860 M.[10](hlm.139-140)[9](hlm.102) Sultan Thaha menghubungi konsulat Turki yang baru tiba di Singapura pada tahun 1901 M, dan membuat konsulat tersebut berjanji akan mengirim dua kapal perang kepada Thaha pada tahun 1902 M. Tapi utusan yang dikirim ke Singapura tidak bisa berbuat banyak bahkan tidak bisa pulang. Masih pada tahun yang sama, Thaha mengirim utusan ke Turki, dan berhasil menemui Wazir Agung. Dalam perjalanan pulang tahun 1903, utusan ini kemudian menunaikan haji, di mana mereka bertemu dengan seorang Jambi yang diketahui menyelewengkan dana bantuan yang diperolehnya untuk mendukung perjuangan Jambi. Terakhir, sultan Thaha mengirim surat ke Turki pada 1903 M, di mana surat itu kembali diberitahukan pemerintah Turki 'Uthmany kepada konsul Belanda di Istanbul.[10](hlm.274-275)[9](hlm.102-103)
Sejak berada di bawah pemerintahan Sultan Thaha, Kesultanan Jambi memasuki periode penting perseteruan panjang dengan pemerintah kolonial Belanda. Setelah perjanjian damai tahun 1833 M dibatalkan oleh sultan, ketegangan antara kedua pihak terus meningkat. Puncaknya, Belanda menganeksasi Kesultanan Jambi pada tahun 1858 M lalu mengangkat sultan bayang[j] sebagai pengganti Sultan Thaha. Sementara itu, Sultan Thaha menyingkir ke ulu[k] dan membentuk pusat pemerintahan di daerah Muara Tebo dan menguasai daerah uluan. Meski pusat kesultanan di Tanah Pilih berhasil dikuasai, Belanda tetap memperhitungkan kekuatan Sultan Thaha yang memiliki legitimasi kuat di uluan bahkan memengaruhi tokoh-tokoh di lingkungan istana. Kedua pihak terlibat konflik dingin berkepanjangan sampai kemudian Belanda memulai ekspedisi militer pada awal abad ke-20. Sejumlah perlawanan sporadis terjadi di beberapa daerah uluan hingga pecah perang terbuka yang menyebabkan Sultan Thaha terbunuh pada tahun 1904 M. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Sultan Thaha, Belanda secara resmi membubarkan kesultanan pada tahun yang sama lalu membentuk Keresidenan Jambi pada tahun 1906 M.[9](hlm.10-11)
Perubahan besar terjadi dalam sistem pemerintahan setelah Belanda berhasil menguasai Jambi dan membubarkan kesultanan. Kolonialisme Belanda di Jambi abad ke-19 secara resmi dimulai melalui kontrak tahun 1833 M. Meski demikian, Belanda hanya menikmati otoritas dan pengaruh yang terbatas, bahkan cenderung tidak menguntungkan secara ekonomi.[9](hlm.329)
Belanda baru benar-benar memberikan perubahan signifikan atas negeri Jambi setelah penaklukan tahun 1904 M. Setelah pemberlakuan pemerintahan keresidenan pada tahun 1906 M, Belanda melakukan serangkaian penataan model pemerintahan dan sistem hukum yang ada di kesultanan maupun di daerah. Perubahan paling menonjol adalah terjadinya peminggiran elite-elite tradisional serta pemberlakuan sistem administrasi dalam hukum adat. Sementara itu, persoalan-persoalan ekonomi dan keadilan juga muncul sebagai masalah yang terus mengganggu. Keadaan-keadaan ini menimbulkan polemik berkepanjangan yang sempat memicu beberapa gerakan pemberontakan, terutama peristiwa tahun 1916 M yang didalangi oleh Sarekat Abang berkedok Sarekat Islam. Setelah peristiwa ini, tidak pernah lagi ada perlawanan yang signifikan dilancarkan oleh rakyat Jambi kepada Belanda.[9](hlm.329)
Pembubaran kesultanan dengan sendirinya berdampak terhadap koeksistensi Islam dan adat dalam sistem pemerintahan serta hukum di Jambi. Pembubaran kesultanan berarti bahwa Jambi bukan lagi sebuah negeri yang, setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, secara ideologi politik merupakan negeri yang menganut ideologi Islam. Undang-undang Jambi tahun 1866 M dihapuskan dan diganti dengan Undang-undang Residensi Jambi (UURJ) buatan Belanda. Upaya-upaya menjadikan Jambi sebagai bagian dari Kesultanan Utsmaniyah juga terhenti sebab negeri Jambi tidak lagi memiliki seorang sultan berdaulat. Meskipun Kesultanan Utsmaniyah masih tetap populer dan menjadi harapan sejumlah kelompok sampai dasawarsa kedua abad ke-20, pada kenyataannya tak ada sosok berwenang untuk mewakili kepentingan politik mereka. Sistem musyawarah dalam suksesi kepemimpinan terbatas juga dihapuskan. Perubahan juga terjadi pada institusi keagamaan, yaitu qadi dan jajarannya. Jika sebelumnya institusi ini bersifat independen dalam urusan keagamaan dan pemutusan perkara hukum yang terkait dengan hukum Islam, UURJ menjadikan institusi keagamaan sebagai bagian dari sistem peradilan umum dengan penerapan birokratisasi ketat. Meskipun seorang hakim Islam harus masuk dalam proses peradilan dalam semua jenjang, dan putusan peradilan harus mengacu pada hukum agama dan hukum adat selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan secara umum, hakim Islam tidak lagi memiliki independensi untuk memutus perkara. Pengakuan terhadap hukum adat-islami juga mengalami distorsi di mana sejumlah aturan yang dianggap bertentangan dengan tradisi Eropa dilarang, seperti hukuman mati dan praktik "pembuktian ilahi", seperti menyelam, memegang besi panas dan sejenisnya, yang banyak dipraktikkan dan diakui dalam UUJ sebelumnya.[9](hlm.329-330)
Perkembangan sosial budaya di daerah Jambi sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak memuaskan. Pendidikan formal memang di selenggarakan oleh kekuasaan pemerintah Belanda, misalnya diselenggarakan pembukaan sekolah-sekolah, namun jumlahnya sangat terbatas. Sampai saat Proklamasi di kota Jambi hanya ada satu Hollandsch Inlandsche School. Sudah tentu di samping pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda, maka oleh masyarakat diselenggarakan pula pendidikan ilmu pengetahuan agama di surau-surau dan madrasah-madrasah.[21](hlm.3)
Zaman Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang atas daerah Jambi dimulai dengan masuknya tentara Angkatan Darat Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Namora melalui daerah Palembang dan Padang. Setelah Palembang jatuh ke tangan tentara Jepang pada tanggal 14 Februari 1942, maka dari Palembang tentara Jepang menyerbu masuk Lubuk Linggau, yang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 21 Februari 1942. Selanjutnya setelah Jepang menduduki Muara Rupit tanggal 23 Februari 1942, yang diikuti Sarolangun Rawas pada tanggal 24 Pebruari 1942, tentara Jepang menyerbu masuk daerah Jambi.[22][21](hlm.17)
Dari daerah Palembang, serbuan tentara Jepang diarahkan ke daerah Sarolangun Jambi, dan dapat diduduki Jepang tanggal 25 Februari 1942. Sehari kemudian Bangko dan Rantau Panjang diduduki pula. Kemudian setelah melakukan pertempuran sehari- semalam, pada tanggal 28 Februari 1942, Muara Bungo dapat diduduki tentara Jepang. Sedangkan Muara Tebo, baru diduduki tentara Jepang tanggal 2 Maret 1942. Di Muara Tebo tentara Jepang dibagi atas dua bagian, satu bagian bertugas untuk menyerang pertahanan tentara Belanda di Pulau Musang, dan satu bagian lagi bertugas untuk menyerang kota Jambi. Dalam pertempuran di Pulau Musang, Kolonel Namora tewas, sedangkan tentara Jepang yang bertugas menyerang Jambi di bawah pimpinan Kapten Orita dapat menduduki kota Jambi tanggal 4 Maret 1942.[22][21](hlm.17)
Adapun daerah Kerinci, dimasuki dan diduduki oleh tentara Jepang yang datang dari Padang. Padang diduduki Jepang pada tanggal 17 Maret 1942.[l][21](hlm.17-18)
Setelah seluruh daerah Jambi dapat diduduki dan dikuasai oleh Jepang dalam waktu yang sangat singkat, maka pada tanggal 10 Maret 1942 disusunlah pemerintahan oleh bala tentara Jepang.[21](hlm.18)
Pada dasarnya susunan pemerintahan Belanda di daerah Jambi, oleh Jepang masih tetap dipertahankan. Perubahan yang dilakukan Jepang ialah mengganti nama dan istilah pemerintahan Belanda dengan istilah atau nama Jepang. Keresidenan ditukar dengan Syu, sedangkan residen disebut Syucokan. Afdeling yang dikepalai oleh Kontrolir[m]) disebut Bunsyu dan dikepalai oleh Bunsyuco. Onderafdeling/Distrik yang dikepalai oleh Demang ditukar dengan nama Gun yang dikepalai oleh Gunco. Kemudian daerah Onderdistrik yang dikepalai oleh Asisten Demang disebut Fuku Gunco.[21](hlm.18)
Secara struktural pemerintahan daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dapatlah digambarkan sebagai berikut:[21](hlm.18-19)
Syucokan Jambi dalam menjalankan pemerintahan di daerah Jambi dibantu oleh:[21](hlm.18)
Dalam pada itu, pimpinan Angkatan Perang Jepang setelah menguasai seluruh Sumatera dipusatkan di Bukit Tinggi, dan oleh karena Panglima Angkatan Perang Jepang di Sumatera merangkap pula sebagai Kepala Pemerintahan Sipil untuk seluruh Sumatra, maka ibukota Sumatra dipindahkan dari Medan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian Syucokan Jambi tunduk kepada Gunzeikan yang berkedudukan di Bukit Tinggi.[23](hlm.198-199)[21](hlm.18)
Adapun dalam hal pembagian wilayah Jambi-syu, Jepang tetap berpedoman kepada susunan wilayah zaman pemerintahan Belanda di Jambi. Oleh karena itu daerah Kerinci masih tetap masuk ke dalam Sumatra Barat. Sejalan dengan itu, maka Jambi-syu terdiri atas tujuh Bunsyu yaitu:[n] [21](hlm.18, 20)
Pada waktu Jepang menduduki daerah Jambi, maka garis politik ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah Jepang adalah sistem autarki, yakni suatu sistem di mana segala daya, tenaga serta usaha di bidang perekonomian dipusatkan untuk kepentingan perang.[21](hlm.23-24)
Berdasarkan sistem autarki ini, daerah Jambi-Syu harus menjadi sumber kepentingan perang. Dalam rangka itu, pemerintahan Jepang di Jambi. Syu mengambil alih semua kegiatan dan pengawasan ekonomi, dan untuk itu dikeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat kontrol untuk mencegah timbulnya manipulasi serta meningkatkannya harga-harga barang.[o][21](hlm.24)
Dalam masa ini, semua harta milik orang-orang Belanda yang ada di daerah Jambi disita oleh Jepang, antara lain perkebunan-perkebunan teh dan kopi, bank, pabrik, serta perusahaan seperti pertambangan minyak, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain.[p][21](hlm.24)
Sesuai dengan kepentingan perang Jepang, maka pemerintahan Jepang di daerah Jambi-Syu mengumumkan pula barang-barang yang dianggapnya penting, yakni barang-barang yang langsung kegunaannya bagi usaha perang, dan barang-barang yang tidak langsung kegunaannya bagi usaha perang Jepang dan mencakup barang-barang untuk kehidupan dan kebutuhan rakyat.[q][21](hlm.24)
Adapun barang-barang yang dianggap penting oleh Jepang antara lain seperti mobil, sepeda motor, agregat, dan berjenis-jenis barang yang terbuat dari baja, besi, dan aluminium. Untuk barang-barang yang dianggap penting ini Syucokan Jambi mewajibkan rakyat untuk melaporkannya, dan pada hakekatnya syucokan melarang memindahkan barang ke luar daerah Jambi-Syu. Barang-barang hasil perkebunan seperti teh, kopi, dan tembakau yang banyak terdapat di Kerinci dianggap sebagai barang kenikmatan, dan kurang berguna bagi usaha perang, sedangkan karet dianggap sebagai bahan penting. Oleh sebab itu kerusakan perkebunan karet di daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang relatif kecil jika dibandingkan dengan kerusakan perkebunan kopi, teh, dan tembakau. Hal ini disebabkan karena rakyat petani teh dan kopi tersebut diwajibkan menanam tanaman lainnya untuk melipatgandakan bahan pangan, di samping kewajiban untuk menanam dan memelihara tanaman jarak yang diperlukan Jepang untuk bahan pelumas.[r][21](hlm.24)
Sejalan dengan politik autarki, pemerintah Jepang di daerah Jambi-Syu mengambil alih bank milik non-pribumi, dan menggantikannya dengan bank Jepang. Pajak yang tinggi dikenakan pada golongan non-pribumi karena dianggap golongan musuh Jepang di dalam perang yang sedang berlangsung. Di bidang perdagangan pemerintah Jepang menggunakan sistem monopoli, harga barang yang dijual ditentukan, dan rakyat memperoleh barang yang dibutuhkan melalui penyalur-penyalur yang telah ditentukan oleh Jepang.[s][21](hlm.25)
Adanya peraturan dan pembatasan serta penguasaan sepenuhnya oleh Pemerintah merupakan ciri sistem ekonomi yang dilaksanakan oleh Jepang di daerah Jambi ketika itu.[21](hlm.25)
Dengan adanya sistem autarki, rakyat daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk menanam biji-biji jarak di pinggir jalan dan di halaman rumah, pohon-pohon kopi dan teh ditebang dan rakyat diperintahkan untuk menanam pangan seperti padi, ubi, dan jagung. Di samping itu rakyat dikerahkan pula untuk melakukan romusya dan Kinrohosyi seperti membuat lubang-lubang yang diperlukan dalam perang yang dilakukan Jepang ketika itu. Sebagian rakyat lagi dipaksakan pula untuk memasuki heiho, demi pertahanan lokal dalam rangka kepentingan perang Jepang.[t] [21](hlm.27)
Akibat banyaknya peraturan pembatasan dan pengawasan serta penindasan pemerintah bala tentara Jepang, rakyat di daerah Jambi sangat menderita. Perekonomian rakyat menjadi hancur, rakyat hidup dengan kemiskinan, dan kelaparan terjadi di mana- mana. Akibat adanya kelaparan tidak sedikit rakyat yang meninggal dunia pada masa ini. Kehidupan yang menyedihkan dialami oleh rakyat daerah Jambi pada masa ini, merupakan pula suatu kehidupan pahit yang belum pernah dialami pada masa-masa sebelumnya.[21](hlm.27)
Di daerah Kerinci, dan daerah-daerah lain rakyat pada masa ini berpakaian tarak, yaitu pakaian yang terbuat dari bahan kulit kayu, dan banyak dijual di pasaran. Adapun kain goni sudah dianggap baik sebagai pakaian ketika ini, sedangkan kain blacu harganya sangat tinggi dan sangat sukar diperoleh, apa lagi bahan tekstil yang lebih halus dari blacu tidak dijumpai lagi untuk dapat dibeli oleh rakyat.[21](hlm.27)
Perhubungan darat sebagai sarana komunikasi waktu itu, menghubungkan pula daerah Jambi dengan daerah Palembang dan Sumatra Barat yakni dengan adanya jalan-jalan yang menghubungkan daerah-daerah Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Rawas. Sedangkan jalan ke tiap daerah Son (kecamatan) ketika ini sudah dapat dilalui mobil.[u] [21](hlm.28)
Adapun jenis pengangkutan daerah tradisional yang penting ketika ini antara lain ialah lusoh (sejenis pedati yang ditarik ker- bau), gerobak, dan pedati. Pengangkutan darat dengan alat-alat tersebut makin besar artinya pada masa ini, karena mobil jumlah- nya sedikit dan itu pun merupakan barang penting untuk keperluan perang Jepang, sehingga pengawasan dan penguasaan atas mobil-mobil benar-benar diatur oleh Jepang.[v] [21](hlm.28)
Pengangkutan udara hampir tidak mempunyai arti dalam bidang perekonomian rakyat di daerah Jambi, walaupun ada lapangan udara Paal Merah di Jambi, namun penggunaannya lebih diutamakan untuk kepentingan tentara Jepang. Pengangkutan laut demikian pula, pada masa ini kapal-kapal dagang tidak banyak yang masuk ke daerah Jambi.[w] [21](hlm.28)
Dalam struktur pemerintahan Jambi-Syu, untuk urusan dan kegiatan perekonomian dibentuk Keizabu dan kepalanya disebut Keizabuco. Keizabuco adalah pembantu syucokan untuk urusan perekonomian di dalam daerah Jambi-Syu.[21](hlm.28)
Di samping Keizabu, kegiatan perekonomian dilakukan pula oleh badan-badan perusahaan Jepang di antaranya ialah:[21](hlm.28-29)
Badan-badan atau lembaga perekonomian lainnya tidak dibentuk oleh Jepang di daerah Jambi.[21](hlm.29)
Pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi terjadi perubahan yang penting artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran dengan dihapuskannya perbedaan pengajaran bagi golongan Belanda dan golongan Pribumi. Oleh Pemerintah Jepang diselenggarakan pendidikan dan pengajaran dengan sistem dan jenis sebagai berikut:[21](hlm.29)
Di Sungai Penuh, Sekolah Dasar disebut Kokumin Gakko, dan dikenal juga dengan sebutan SESNI atau Sekolah Sambungan Nippon-Indonesia, dipimpin oleh Panggabean, Arsyad, dan kemudian Yakub.[25](hlm.5) [21](hlm.29)
Di sekolah-sekolah pelajaran bahasa Jepang merupakan mata pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dilarang. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar mulai dilaksanakan di sekolah.[21](hlm.29) Hal itu karena bahasa Belanda dilarang oleh pemerintah Jepang, dan sebagai gantinya bahasa Jepang mulai diterapkan dalam dunia pendidikan dan pergaulan sehari-hari. Selanjutnya bahasa Indonesia mulai menonjol, karena dipergunakan secara resmi. Hal ini menggembirakan rakyat di daerah Jambi, sebab bahasa Indonesia sangat mudah dipahami, karena bahasa daerah Jambi mempunyai dasar yang sama dan tidak banyak perbedaannya dengan bahasa Indonesia. Kalaupun ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah perbedaan bunyi yang manifestasinya tampak dalam dialek yang ada di dalam bahasa daerah Jambi.[21](hlm.30-31)
Pada umumnya di sekolah yang diadakan Jepang ketika ini, pengajaran pengetahuan umum kurang diutamakan. Sekolah pada masa itu terutama ditujukan untuk mempelajari bahasa Jepang, taiso, olahraga, serta mementingkan pendidikan semangat. Murid-murid seringkali diharuskan melakukan kerjabakti seperti membersihkan bengkel, asrama dan mengumpulkan bahan untuk membuat pertahanan, dan sebagainya. Sebagian waktu belajar, juga dipakai untuk menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan pohon jarak, yang dapat menghasilkan bahan penting bagi kelangsungan perang.[y][21](hlm.29-30)
Latihan jasmani yang berupa latihan kemiliteran mengisi sebagian besar kegiatan murid-murid setiap hari. Untuk menanamkan semangat Jepang, maka tiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang dan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo.[z][21](hlm.30)
Dengan demikian, keadaan sekolah serta jalan pengajaran dan pendidikan pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi, hanya dititik-beratkan kepada memperluas bahasa Jepang serta memperdalam pendidikan semangat busyido cara Jepang.[aa][21](hlm.30)
Kebudayaan masyarakat daerah Jambi pada masa itu bertolak dari kebudayaan masa lalu, yang dalam segi tertentu terdapat penonjolan-penonjolan di samping ada pula yang diabaikan atau tidak memperoleh kesempatan untuk ditonjolkan sebagai akibat dari suasana politik yang dilakukan Jepang.[21](hlm.30)
Seni ukir dan seni pahat, yang pada masa pemerintahan Belanda tidak dikembangkan, semakin diabaikan masyarakat pada masa pendudukan Jepang. Sedangkan seni musik, terutama musik Barat dilarang oleh Jepang, musik Jepang sebagai gantinya mulai diperkenalkan dengan mewajibkan rakyat menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Jepang. Adapun seni pencak silat pada saat ini mulai ditonjolkan karena sejalan dengan semangat perang Jepang.[21](hlm.30)
Berdasarkan perkiraan pada masa pendudukan Jepang sembilan puluh tujuh persen dari pendudukan daerah Jambi adalah penganut Islam. Adapun penduduk non-Islam di daerah Jambi terdiri dari suku anak dalam, suku Bajau, dan penduduk pendatang dari Jawa, Tapanuli, Flores, dan Cina.[ab][21](hlm.31)
Penduduk Jambi merupakan penganut agama Islam yang taat, walaupun begitu sisa-sisa dari kepercayaannya terhadap alam gaib dan makhluk-makhluk supernatural masih terdapat di kalangan penduduk tersebut, sebagaimana tampak dalam upacara di tempat-tempat keramat, sesajen dan mantra-mantra.[21](hlm.31)
Secara keseluruhan perkembangan agama Islam pada masa ini, tidak dihalang-halangi oleh pemerintah Jepang. Madrasah-madrasah boleh berjalan seperti biasa, namun karena sulitnya penghidupan rakyat, anak-anak tidak banyak yang masuk belajar di madrasah. Kedudukan Hoofd Penghulu sebagai tokoh agama tidak diganggu-gugat oleh Jepang, dan tetap menjalankan tugasnya sebagaimana biasa. Demikian pula kedudukan guru agama pada masa-masa ini tidak diganggu Jepang, bahkan Jepang berusaha untuk mempengaruhi guru-guru, ulama, serta tokoh-tokoh agama untuk turut mempropagandakan perang suci Asia Timur Raya, supaya dimenangkan oleh Jepang.[ac]
Dalam rangka inilah pimpinan Badan Penerangan Jepang untuk Asia Timur Raya mengumpulkan guru-guru agama dan melakukan pertemuan besar di Singapura.[ad][21](hlm.31)
Tokoh-tokoh agama pada masa pendudukan Jepang antara lain ialah:[21](hlm.31-32)
Salah satu dari tokoh agama daerah Jambi tersebut yakni KH. Nawawi berhasil menjadi penasihat pemerintah Jepang di bidang agama untuk daerah Jambi. Dengan usahanya sebagai penasihat bidang agama, anak-anak gadis di daerah Jambi terlepas dari paksaan Jepang untuk mengikuti sekolah-sekolah Jepang.[af][21](hlm.31)
Selama pendudukan Jepang di daerah Jambi, segala bentuk komunikasi massa diatur dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Satu-satunya surat kabar daerah Jambi yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang yakni Jambi Shimbun. Sebagian besar berita dari Jambi Shimbun adalah berita-berita tentang perjalanan perang Asia Timur Raya dan menyiarkan aturan-aturan negeri.[ag][21](hlm.32)
Jambi Shimbun ini dipimpin oleh Tenma, Suky, Matsoda, dan lain-lain. Selain Jambi Shimbun surat kabar lain yang beredar di daerah ini ialah Sumatra Shimbun Kai, yang diterbitkan oleh persekutuan surat kabar ke Sumatra. Sumatra Shimbun Kai ini, di bawah pengawasan Gunseikanbu bagian Hodobu (Penerangan Tentara). Selain penerbitan-penerbitan resmi dari pemerintah Jepang, maka surat kabar dan penerbitan lainnya tidak diperbolehkan oleh Jepang.[ah][21](hlm.32)